KLIPPING ALBUM PERJUANGAN
HARIAN
PELITA
JUM’AT, 13 NOPEMBER 1981
Kisah
Heroisme Arek-Arek Suroboyo
Do’a Kyai
Yasin & Kyai Mursid
Oleh
Sholeh Hayat, Koresponden Jatim
Kiyai Wahab
Thurham, Ulama Surabaya yang kini jadi Direktur Taman Pendidikan khodijah, Surabaya kepada “Pelita”
menuturkan cerita yang dialaminya. “Seingat saya, perang 10 Nopember itu
terjadi pada hari Sabtu sekitar jam 10
pagi, dengan ditandai adanya serangan udara dari Tanjung Perak. Kampung-kampung
di Kebalen serta Markas Hizbullah dan Pesindo di Kemayoran ditembaki tentara
Inggris dari udara. Bahkan mortar-mortir yang ditembakkan itu ada yang jatuh di
markas Polisi Tegalsari”.
Cerita saksi
mata itu lebih lanjut, “Untunglah ada gundukan tanah tangkis untuk jembatan rel
kereta api di Viadug jalan pahlawan”.
Dari tempat itulah “Arek-arek “ Suroboyo mempertahankan kotanya sampai 15 hari.
Yang berani masuk kota hanya pesawat udara Inggris, sedangkan para
pejuang tak punya alat penangkis
serangan udara. Pesawat-pesawat itu dikerahkan untuk meledakkan bom diatas rumah-rumah penduduk. Tak heran ketika
itu rakyat Surabaya jadi panic. Kalau tak salah ingat,
bom yang meledak ketika itu sekitar 180 kali ledakan.
Motor tank
milik Inggris tak berani bergerak maju. Mereka hanya maju mundur disekitar Jembatan
Merah dan Stasten, ada alasannya mereka tak berani maju masuk kota. Ketika itu kita punya pasukan berani
mati. Mereka itu terdiri dari anak-anak muda yang pantang takut melawan maut.
Mereka lari mendekati motor tank sambil menggotong mortar. Mereka memekik
histeris, Allahu Akbar, bersamaan ditabrakkannta mortar atau granat ke tubuh motor tank. Dan meledaklah. Apa yang
terjadi? Motor tank meledak berbareng dengan hancurnya tubuh para syuhada.
Bumi
hangus
Keadaan yang
demikian ini membuat bingung pasukan Inggris, kata Kiyai Wahab Thurbam yang
penduduk asli Surabaya
itu. Lalu mereka merobah taktik. Pesawat udara dikerahkan untuk membom kota Surabaya.
Kalau serangan pihak Inggris itu, maka para pejuang
mundur untuk membuat pertahanan baru. Melihat kesempatan bobolnya pertahanan di
tanggul kereta api Viaduq jalan Pahlawan, maka pasukan Inggris dapat maju
dengan leluasa.
Sasaran
pertama adalah sebuah gedung bekas Pengadilan milik Belanda yang kini jadi
lokasi Tugu Pahlawan. Gedung itu hangus terbakar oleh dentuman meriam tank.
Serangan terus
dilancarkan ke selatan. Sebuah gedung bioskop di Jalan Alun-alun Contong
ditembaki. Hingga gedung tersebut hangus
terbakar. Mereka maju lagi ke selatan,
Jalan Tunjungan. Sasarannya adalah
pusat pertokoan. Salah satu gedungnya yang masih ada kini dibangun toko Siola.
Do’a
Kyai Yasin.
”Ada
cerita dibalik berita”, demikian penuturan ustadz Wahab sambil mengenang perang
10 Nopember. Sebenarnya kata Ustadz Wahab, keberanian rakyat Surabaya karena
ditunjang oleh kesiapan mental dan dibantu oleh do’a seorang ulama. Ketika ada
seorang ulama bernama Kiyai Yasin. Tempat tinggalnya di Botoputih Surabaya
bagian utara. Beliau membekali para pejuang dengan do’a, air putih dan telor
yang berisi asma’, sebagai syarat usaha batin untuk ketahanan hati dan
kekebalan kulit dari hantaman peluru.
Jasa
Kiyai Yasin cukup banyak. Beliau seringkali mendampingi para pemimpin
Indonesia dalam perundingan dengan pihak
Inggris. Ia menjadi tameng karena kebal peluru. Sayang wafatnya tak terurus
dipenjara Kalisosok sebagai tahanan
penjajah.
Masih ada lagi seorang ulama lain yang ikut andil dalam perang 10
Nopember. Namanya Kiyai Mursyid bertempat tinggal di Blawuran. Ia yang memegang
komando setelah Kiyai Yasin ditangkap.
”Saya masih ingat isi pidatonya”, ujar Kiyai Wahab. ”Korban bukan hanya
sapi dan domba, tapi korban bisa juga dengan menyembelih Nica, Gurkha dan kaki
tangannya”.
Tak beda dengan Kiyai Yasin, ia ahli juga soal ilmu kemandragunaan
untuk memberikan bekal kekuatan badan lahir dan bathin. Sayang sekali wafat
dengan tragis. Ketika pergolakan PKI Madiun Kiyai Mursyid tewas akibat
ledakan-ledakan dinamit yang dipasang orang-orang PKI.
Bagaimana
dengan masyarakat di pinggiran kota Surabaya? Ternyata getaran dan kobaran semangat melawan penjajah tak beda dengan
yang didalam kota.
KH
Achyat Halimi, ulama Mojokerto menuturkan,” Untuk mengobarkan semangat juang
maka dibentuklah markas Kyai yang diketuai Kyai Yasin penghulu Surabaya yang mengungsi di Mojokerto dan Kiyai Nawawi
bertindak sebagai pelaksana di garis depan. Sedangkan Kiyai Ahnan dan Hasan Ali berkumpul di pos
komando di Alon-alon Mojokerto yang sekarang dipakai markas CPM.
Ujar
KH. Achyat lebih lanjut, ”berkat persatuan bangsa Indonesia yang selalu
mengumandangkan Takbir, maka pertempuran di Surabaya terus berkobar siang
malam”. Beberapa Kiyai yang dikenal kebal peluru ternyata dapat menggoncangkan
tentara Sekutu.
Di
Sidoarjo, perlawanan Pemuda dan Kiyai
dipimpin oleh Kiyai Haji Machfud
Anwar dari Jombang yang kini masih hidup dibantu KH Thohir dan Kiyai Mansur.
Pada tahun 1950 beliau keluar dari ketentaraan dan menyerahkan anak buahnya
sebanyak satu kompi beserta senjatanya kepada Batalion Munasir. Yang disebut
terakhir ini, kini menjabat Sekjen PBNU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama).
Penembakan Brigjend
Malabby.
Insiden
penembakan Brigjend Mallaby di depan gedung Internatio Jembatan Merah tanggal
30 Oktober 1945 sesudah maghrib, merupakan salah satu sumbu
peledak pertempuran 10 Nopember 1945.
Hampir
35 tahun teka-teki pelaku penembakan Mallaby ini belum terungkap. Siapakah
gerangan?
Akhirnya
terbuka juga tabir yang menutupi misteri selama 35 tahun itu. Yang
melakukan penembakan adalah H. Abdul Aziz (65 tahun) bertempat tinggal di Ampel
Menara no. 2 Surabaya.
Beberapa
waktu yang lalu kepada wartawan majalah ”Semesta” H. Abdul Aziz membuka cerita:
”Saya sengaja tak mau bercerita, karena
takut dituntut Inggris. Disamping itu saya takut dikira ngaku-ngaku”.
Tutur
H. Abdul Aziz lebih lanjut, ”Pada tanggal 30 Oktober 1945 itu hari hampir gelap
dan listrik di Jembatan Merah tidak menyala. Tampak beberapa iringan mobil Kontak Biro Indonesia berembuk dekat rel trem listrik. Saya tiarap dekat sungai
bersama Achyat sialap-alap, pemuda Simokerto bekas anggota Hisbullah. Jarak
antara saya dengan Biro Kontak yang sedang berunding itu hanya 2 meter saja.
Saya dengar mereka memutuskan 2 orang pihak Indonesia dan seorang pihak Inggris masuk ke dalam
gedung Internatio. Sementara Brigadir Jendral Mallabby dan 2 orang perwira Inggris yang mengawalnya
tetap berdiri di tempatnya”.
Sepuluh
menit kemudian terdengar berondongan peluru dari atas dan lantai bawah gedung
Internatio yang ditujukan kepada pemuda dan rakyat yang memenuhi lapangan
gedung itu. Saya spontan menembak Malabby. Semua tiarap dan Malabby
tergeletak merintih. Melihat hal ini Cak Doel Arnowo bilang agar saya diam saja.
Jangan cerita kepada orang lain. ”Ini rahasia negara”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar