Kamis, 07 Maret 2013

H. Abdul Azis mengaku Penembak Brigjend AWS Mallaby



KLIPPING ALBUM PERJUANGAN

HARIAN  PELITA
JUM’AT, 13 NOPEMBER 1981

Kisah Heroisme Arek-Arek Suroboyo
Do’a Kyai Yasin & Kyai Mursid
Oleh Sholeh Hayat, Koresponden Jatim


Kiyai Wahab Thurham, Ulama Surabaya yang kini jadi Direktur Taman Pendidikan khodijah, Surabaya kepada “Pelita” menuturkan cerita yang dialaminya. “Seingat saya, perang 10 Nopember itu terjadi pada hari Sabtu  sekitar jam 10 pagi, dengan ditandai adanya serangan udara dari Tanjung Perak. Kampung-kampung di Kebalen serta Markas Hizbullah dan Pesindo di Kemayoran ditembaki tentara Inggris dari udara. Bahkan mortar-mortir yang ditembakkan itu ada yang jatuh di markas Polisi Tegalsari”.


Cerita saksi mata itu lebih lanjut, “Untunglah ada gundukan tanah tangkis untuk jembatan rel kereta api  di Viadug jalan pahlawan”. Dari tempat itulah “Arek-arek “ Suroboyo mempertahankan kotanya sampai 15 hari. Yang berani masuk kota  hanya pesawat udara Inggris, sedangkan para pejuang  tak punya alat penangkis serangan udara. Pesawat-pesawat itu dikerahkan untuk meledakkan bom  diatas rumah-rumah penduduk. Tak heran ketika itu rakyat  Surabaya jadi panic. Kalau tak salah ingat, bom yang meledak ketika itu sekitar 180 kali ledakan.


Motor tank milik Inggris tak berani bergerak maju. Mereka hanya maju mundur disekitar Jembatan Merah dan Stasten, ada alasannya mereka tak berani maju masuk kota. Ketika itu kita punya pasukan berani mati. Mereka itu terdiri dari anak-anak muda yang pantang takut melawan maut. Mereka lari mendekati motor tank sambil menggotong mortar. Mereka memekik histeris, Allahu Akbar, bersamaan ditabrakkannta mortar atau granat  ke tubuh motor tank. Dan meledaklah. Apa yang terjadi? Motor tank meledak berbareng dengan hancurnya tubuh para syuhada.


            Bumi hangus

Keadaan yang demikian ini membuat bingung pasukan Inggris, kata Kiyai Wahab Thurbam yang penduduk asli Surabaya itu. Lalu mereka merobah taktik. Pesawat udara dikerahkan untuk membom kota Surabaya. Kalau serangan pihak Inggris itu, maka para pejuang mundur untuk membuat pertahanan baru. Melihat kesempatan bobolnya pertahanan di tanggul kereta api Viaduq jalan Pahlawan, maka pasukan Inggris dapat maju dengan leluasa.

Sasaran pertama adalah sebuah gedung bekas Pengadilan milik Belanda yang kini jadi lokasi Tugu Pahlawan. Gedung itu hangus terbakar oleh dentuman meriam tank.
Serangan terus dilancarkan ke selatan. Sebuah gedung bioskop di Jalan Alun-alun Contong ditembaki.  Hingga gedung tersebut hangus terbakar. Mereka maju  lagi ke selatan, Jalan Tunjungan. Sasarannya    adalah pusat pertokoan. Salah satu gedungnya yang masih ada kini  dibangun toko Siola.


            Do’a Kyai Yasin.

”Ada cerita dibalik berita”, demikian penuturan ustadz Wahab sambil mengenang perang 10 Nopember. Sebenarnya kata Ustadz Wahab, keberanian rakyat Surabaya karena ditunjang oleh kesiapan mental dan dibantu oleh do’a seorang ulama. Ketika ada seorang ulama bernama Kiyai Yasin. Tempat tinggalnya di Botoputih Surabaya bagian utara. Beliau membekali para pejuang dengan do’a, air putih dan telor yang berisi asma’, sebagai syarat usaha batin untuk ketahanan hati dan kekebalan kulit dari hantaman peluru.

Jasa Kiyai Yasin cukup banyak. Beliau seringkali mendampingi para pemimpin Indonesia  dalam perundingan dengan pihak Inggris. Ia menjadi tameng karena kebal peluru. Sayang wafatnya tak terurus dipenjara Kalisosok  sebagai tahanan penjajah.

Masih ada lagi seorang ulama lain yang ikut andil dalam perang 10 Nopember. Namanya Kiyai Mursyid bertempat tinggal di Blawuran. Ia yang memegang komando setelah Kiyai Yasin ditangkap.
”Saya masih ingat isi pidatonya”, ujar Kiyai Wahab. ”Korban bukan hanya sapi dan domba, tapi korban bisa juga dengan menyembelih Nica, Gurkha dan kaki tangannya”.

Tak beda dengan Kiyai Yasin, ia ahli juga soal ilmu kemandragunaan untuk memberikan bekal kekuatan badan lahir dan bathin. Sayang sekali wafat dengan tragis. Ketika pergolakan PKI Madiun Kiyai Mursyid tewas akibat ledakan-ledakan dinamit yang dipasang orang-orang PKI.

Bagaimana dengan masyarakat di pinggiran kota Surabaya? Ternyata getaran dan kobaran  semangat melawan penjajah tak beda dengan yang didalam kota.

KH Achyat Halimi, ulama Mojokerto menuturkan,” Untuk mengobarkan semangat juang maka dibentuklah markas Kyai yang diketuai Kyai Yasin penghulu Surabaya  yang mengungsi di Mojokerto dan Kiyai Nawawi bertindak sebagai pelaksana di garis depan. Sedangkan  Kiyai Ahnan dan Hasan Ali berkumpul di pos komando di Alon-alon Mojokerto yang sekarang dipakai markas CPM.

Ujar KH. Achyat lebih lanjut, ”berkat persatuan bangsa Indonesia yang selalu mengumandangkan Takbir, maka pertempuran di Surabaya terus berkobar siang malam”. Beberapa Kiyai yang dikenal kebal peluru ternyata dapat menggoncangkan tentara Sekutu.

Di Sidoarjo, perlawanan Pemuda dan Kiyai  dipimpin oleh Kiyai  Haji Machfud Anwar dari Jombang yang kini masih hidup dibantu KH Thohir dan Kiyai Mansur. Pada tahun 1950 beliau keluar dari ketentaraan dan menyerahkan anak buahnya sebanyak satu kompi beserta senjatanya kepada Batalion Munasir. Yang disebut terakhir ini, kini menjabat Sekjen PBNU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama).


            Penembakan Brigjend Malabby.

Insiden penembakan Brigjend Mallaby di depan gedung Internatio Jembatan Merah tanggal 30  Oktober 1945  sesudah maghrib, merupakan salah satu sumbu peledak pertempuran 10 Nopember 1945.

Hampir 35 tahun teka-teki pelaku penembakan Mallaby ini belum terungkap. Siapakah gerangan?

Akhirnya terbuka juga tabir yang menutupi misteri selama 35 tahun itu.  Yang melakukan penembakan adalah H. Abdul Aziz (65 tahun) bertempat tinggal di Ampel Menara no. 2 Surabaya.

Beberapa waktu yang lalu kepada wartawan majalah ”Semesta” H. Abdul Aziz membuka cerita: ”Saya sengaja tak mau bercerita, karena takut dituntut Inggris. Disamping itu saya takut dikira ngaku-ngaku”.

Tutur H. Abdul Aziz lebih lanjut, ”Pada tanggal 30 Oktober 1945 itu hari hampir gelap dan listrik di Jembatan Merah tidak menyala. Tampak beberapa iringan mobil  Kontak Biro Indonesia  berembuk dekat rel  trem listrik. Saya tiarap dekat sungai bersama Achyat sialap-alap, pemuda Simokerto bekas anggota Hisbullah. Jarak antara saya dengan Biro Kontak yang sedang berunding itu hanya 2 meter saja. Saya dengar mereka memutuskan 2 orang pihak Indonesia  dan seorang pihak Inggris masuk ke dalam gedung Internatio. Sementara Brigadir Jendral Mallabby  dan 2 orang perwira Inggris yang mengawalnya tetap berdiri di tempatnya”.

Sepuluh menit kemudian terdengar berondongan peluru dari atas dan lantai bawah gedung Internatio yang ditujukan kepada pemuda dan rakyat yang memenuhi lapangan gedung itu. Saya spontan menembak Malabby. Semua tiarap dan Malabby tergeletak merintih. Melihat hal ini Cak Doel Arnowo bilang agar saya diam saja. Jangan cerita kepada orang lain. ”Ini rahasia negara”.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar