KLIPPING ALBUM PERJUANGAN
HARIAN SURABAYA POST
RABU, 6 NOPEMBER 1985
SIAPA PEMBUNUH
Brigjend AWS MALLABY, MENGAPA DUL ARNOWO
TIDAK BERCERITA?
Oleh
Suparto Brata
Sampai
tahun 1973 , orang masih bertanya-tanya siapakah pembunuh Brigadir Jendral
A.W.S. Mallaby. Tentu saja beberapa pelaku perjuangan saat itu banyak yang tahu
jawabnya. Dan tidak mau menguraikan apa pendapatnya, lebih-lebih dalam bentuk
tulisan.
Jadi
bagi orang awam sampai saat ini tentang kematian Mallaby merupakan misteri.
Orang tahu bahwa pada akhir hayatnya Brigadir Mallaby bersama-sama
anggota Kontak Biro Indonesia
berusaha menghentikan tembak menembak di
Internatio Jembatan Merah Surabaya.
Iring-iringan mobil mereka sampai di depan gedung Internatio, tembak
menembak berhasil dihentikan. Jendral
Inggris itu sempat berbicara dengan pasukan Gurkha yang berada di dalam gedung.
Dengan berhentinya tembakan, pejuang Indonesia yang mengepung gedung keluar
dari persembunyiannya, beramai-ramai mengerumuni mobil-mobil yang
berhenti di depan gedung. Mereka menuntut agar pasukan Gurkha yang ada di dalam gedung meletakkan
senjata dan keluar, untuk dipindahkan ke pelabuhan. Sebab merekalah yang terus menerus menembaki orang lewat di
sekitar gedung, sehingga daerah itu tidak aman.
Pihak
pemimpin Indonesia, baik Dul Arnowo maupun Sudirman, mencoba memberi
keterangan, bahwa pasukan Gurkha akan dipindahkan esok siang oleh TKR. Para
pejuang Indonesia kelihatannya mau menerima hal itu.
Brigadir
Jendral Mallaby kembali masuk mobilnya,
dan meneruskan perjalanan ke tempat lain
yang masih terdengar tembak menembak. Mobilnya maju, lalu menikung ke kanan,
lewat Willemplein Noord menuju Jembatan Merah. Melihat hal ini para pemimpin Indonesia juga masuk mobilnya, dan
meninggalkan Internatio. Pada waktu itu para pejuang Indonesia memenuhi tanah lapang di depan gedung tersebut.
Melihat
iring-iringan mobil meninggalkan gedung, sedangkan pasukan Gurkha masih tetap
berada di dalamnya, mereka kecewa. Terutama yang tidak mendengar
keterangan Dul Arnowo dan Sudirman. Lalu
berteriak untuk menghentikan mobil-mobil itu, terutama mobil yang ditumpangi oleh Mallaby. Mobil berhenti,
dan mereka kembali menuntut agar pasukan
Gurkha di Internatio dipindahkan sekarang juga.
TEMBAKAN DARI GEDUNG
Banyak
saksi kejadian itu kemudian tahu bahwa Mallaby
mengutus Kapten Shaw pergi ke Gedung Internatio. Sumber Indonesia menceritakan bahwa sebenarnya Mallaby sendiri yang akan pergi, tetapi dicegah oleh anggota
Kontak Biro, dengan pertimbangan akan lebih berbahaya kalau kedua belah pihak
berkonfrontasi langsung. Untuk lebih mantapnya , perjalanan Kapten Shaw ini
diikuti oleh seorang perwira Indonesia, Mohmmad Mangundiprojo (sekarang
pensiunan Gubernur Lampung di Tanjungkarang). Juga diikuti oleh T. D. Kundan
sebagai juru bahasa. T. D. Kundan ini seorang pengusaha bangsa India di Surabaya yang bersimpati
dengan perjuangan Indonesia.
Sementara
para utusan pergi ke gedung, Mallaby dan para anggota Kontak Biro menunggu di
tempat mobilnya. Dari gedung kira-kira 200 meter jauhnya, dan hanya beberaapa meter saja dari Kalimas
dan Jembatan Merah.
Sepuluh
menit berlalu. Lalu larilah T.D. Kundan keluar gedung, memperingatkan bahwa
pasukan Inggris di gedung mempersiapkan tembakan. Dan benar juga, tembakan
gencar terdengar diikuti ledakan granat di sekitar gedung. Pemuda pejuang yang semula ramai berada di halaman depan gedung segera lari lintang pukang berlindung
menghindari tembakan. Terjadilah tembak menembak lagi antara pasukan Gurkha di
gedung dan pejuang Indonesia yang mengepungnya.
MALLABY VERMIST
Itulah
peristiwa yang terjadi 40 tahun yang lalu, tepatnya
tanggal 30 oktober 1945, petang hari.
Keesokan
harinya dikhabarkan bahwa Brigadir Jendral Mallaby hilang. Maksudnya tidak
kembali ke markasnya. Oleh para pemimpin
Indonesia dikatakan vermist. Istilah Belanda itu artinya hilang. Sedangkan pihak
Inggris sudah memastikan bahwa Mallaby killed, meskipun pada kenyataannya
mereka tidak menemukan mayat Mallaby. Killed artinya bisa tewas, bisa terbunuh.
Kepastian berita itu tentulah gara-gara laporan Kapten R. C. Smith, pengawal Mallaby waktu di
Internatio, yang berhasil menyelamatkan diri
dan menghubungi markasnya di pelabuhan, lima jam setelah peristiwa di
Jembatan Merah. Ia melaporkan bahwa Mallaby ditembak oleh orang-orang
Indonesia bersenjata. Letnan Jendral
Christison pada tanggal 31 Oktober 1945 menuduh bahwa Mallaby was foully murdered.
Kapten
R. C. Smith adalah perwira penghubung. Ketika Kapten Shaw pergi ke gedung, ia
bersama Kapten T. L. Laughland dan
Brigadir Mallaby kembali masuk ke mobilnya. Duduk bertiga dengan susunan
Mallaby pada sisi dekat Kalimas,
Laughland di tengah, dan ia di sisi dekat gedung Internatio. Ketika tembak
menembak berlangsung, mereka bertiga hanya meringkuk di dasar mobil. Setelah bertempur selama dua setengah
jam, maka terdengar aba-aba menghentikan tembakan. Tembak menembak berhenti.
Terdengar aba-aba Indonesia seolah-olah mengumpulkan temannya.
Pada
saat itu ada dua orang Indonesia datang ke tempat mobil. Mereka mencoba
menjalankan mobil, tetapi gagal. Seorang dari mereka membuka pintu
belakang sebelah Mallaby. Mallaby
bergerak dan menyuruh pemuda tadi untuk menghubungi anggota Kontak Biro Indonesia. Pejuang Indonesia itu pergi berunding dengan teman-temannya.
Kemudian kembali mendekati mobil dan
menembak kearah Mallaby lewat jendela depan, Mallaby kena. Setelah
menembak, pemuda tadi bersembunyi dibalik pintu belakang yang terbuka.
Baik
Smith maupun Laughland tidak membawa senjata apa-apa. Hanya Laughland
menyembunyikan sebutir granat. Ketika pemuda tadi mulai menembak Mallaby,
Laughland memberikan granatnya kepada Smith. Oleh Smith granat dibuka pennya,
diketokkan. Pemuda yang bersembunyi segera muncul lagi dan menembakkan senjatanya
tiga kali berturut-turut. Tetapi pelurunya tidak mengenai sasaran, hanya
menyerempet Laughland. Pada saat itu granat dilemparkan ke tempat pemuda lewat
bawah pintu yang masih terbuka dan meledak,. Setelah ledakan barulah Smith dan
Laughland keluar dari mobil lewat sisi Smith. Menilik bunyi napasnya, Mallaby
telah tewas. Smith dan Lauhland memutari belakang mobil, lalu terjun ke
Kalimas. Setelah menghanyutkan diri selama lima jam baru dapat keluar di daerah
pelabuhan.
Berdasarkan
laporan Smith ini, maka Letnan Jendral Christison, Panglima Tentara Sekutu di
Asia Tenggara, mengancam akan mengerahkan
kekuatan tentaranya sampai pasukan Indonesia hancur, kecuali kalau
ekstremis Indonesia yang membunuh Mallaby menyerah kepada pasukan Inggris (...unless the Indonesians, who have committed these acts surrender to my
forces, I intend to bring the whole weight of my sea, land and forces and all the
weapons of modern war against them until they are crushed).
GUGUR
TERHORMAT
Untuk
sementara ketika tuduhan pembunuhan
Mallaby dilancarkan pihak Inggris, pihak Indonesia bungkam. Tidak secara
lugas membicarakan siapa pembunuh Mallaby, melainkan sebab musababnya atau
mengapa Mallaby tewas. Dul Arnowo
spontan menanggapi ancaman Christison
dengan laporan yang sesungguhnya,
bahwa Mallaby tewas karena pertempuran yang dicetuskan lebih dulu oleh pihak Gurkha yang berada di
gedung. Kalau pasukan Gurkha itu tidak mulai menembak lebih dahulu,
tentulah pertempuran tidak terjadi!
Menurut
T. D. Kundan, ia sudah curiga sejak di dengarnya percakapan Kapten Shaw dan
Mallaby sebelum mereka berpisah di Jembatan Merah. Kapten Shaw seperti
memperingatkan Mallaby bahwa apa yang
diperintahkan kepadanya itu akan membahayakan keselamatan Mallaby. Tetapi
Mallaby ngotot apa yang diperintahkan harus dilaksanakan. Untuk melakukan itu
hanya diberi waktu selama sepuluh menit berada di gedung. Apa perintah Mallaby
kalau bukan open fire? Itulah
sebabnya T. D. Kundan segera lari keluar! Di dalam gedung ia melihat Kapten
Shaw berbicara dengan seseorang Gurkha dalam bahasa India yang kebetulan Kundan
mengerti. Lalu pasukan Gurkha mempersiapkan senjata tembaknya di depan jendela
tingkat dua di tujukan kearah mobil-mobil anggota Kontak Biro.
Jadi
penembakan pertama yang dilakukan oleh pasukan Gurkha dari gedung adalah atas perintah Kapten Shaw,
dan Kapten Shaw menjalankan perintah Brigadir Jendral Mallaby.
Cerita
ini dibantah oleh Dr. R.C. Smith yang waktu itu kapten; 29 tahun kemudian dari peristiwanya. Pada bulan
Februari 1974 ia menyatakan bahwa ketika
terjadi penghentian mobil Malabby, ia selalu di dekat komandannya. Apa pun yang
di bicarakan dengan Kapten Shaw tentu di dengarnya. Menurut R. C. Smith, Kapten
Shaw lah yang mula-mula menganjurkan agar tuntutan para pejuang itu dikabulkan.
Mallaby menolak. Tapi lalu berubah setuju, dengan pertimbangan dengan segera
diangkutnya pasukan Gurkha dari
Internatio mereka akan selamat dan segera beristirahat. Itu lebih baik dari
pada dalam keadaan kelelahan, kekurangan makan dan minum, dan tegang karena
telah bertempur sejak tanggal 28 Otober
1945 melawan pejuang Indonesia. Jadi
perintah Mallaby kepada Kapten Shaw adalah meletakkan senjata, para pasukan
Gurkha keluar gedung, dan diangkut oleh
TKR ke pelabuhan!
Tapi
nyatanya terjadi penembakan pertama dari pihak pasukan Gurkha!
Mayor
K. Venu Gopal, yang memimpin pasukan Gurkha di gedung Internatio, menjelaskan
bahwa penembakan itu adalah prakarsanya sendiri. Ia tidak diperintahkan oleh
Kapten Shaw maupun Brigadir Jendral Mallaby. Kapten Shaw tidak memerintahkan
apa-apa ketika masuk ke gedung bertemu
dengan dia di serambi, ia langsung naik ke tingkat dua. Di serambi banyak
pemuda Indonesia bersenjata ingin masuk ke gedung. Gopal mengancam akan
menembaknya. Dan karena pemuda-pemuda tadi terus berdesakan hendak masuk
gedung, akhirnya ia menembak.
Sekalipun
pihak Indonesia sampai beberapa tahun lamanya tidak berkomentar langsung
mengenai Mallaby di tembak oleh siapa, paling-paling oleh peluru nyasar atau
bahkan disengaja oleh pasukan Gurkha di gedung Internatio, namun dari pihak
Inggris kemudian hari juga ada yang tidak terlalu tajam menuduh tewasnya itu dilakukan oleh ekstremis Indonesia. Kira-kira 100 hari setelah
tewasnya Mallaby, tepatnya tanggal 20 Februari 1946, Tom Driberg, anggota parlemen
Inggris berpidato pada sidang House of Commons, menyatkan bahwa”... Brigadier Mallaby was not murdered but
was honourably killed in action...”, gugur terhormat dalam pertempuran.
”AKU PEMBUNUH MALLABY!”
Yang
paling dulu dari pihak Indonesia mengakui bahwa tewasnya Mallaby oleh orang
Indonesia adalah Dul Arnowo. Ketika itu di wawancarai oleh penulis buku Java, Andrson, pada tanggal 13 Agustus 1962, ia
mengakui bahwa Mallaby tewas tertembak
oleh orang-orang pihaknya (...Mallaby
had been accidentally shot by his own
men). Dul Arnowo lebih lebar lagi
membuka tabir pembunuhan Mallaby oleh pihak Indonesia pada tulisan Ruslan
Abdulgani ”Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia”, yang
disiarkan pertama kalinya oleh Surabaya Post tanggal 25 Oktober – 9 November
1973. Dalam tulisan itu diceritakan bahwa ketika tembak menembak berlangsung,
para anggota Kontak Biro Indonesia sudah tidak perduli lagi apa tugasnya. Yang
paling penting menyelamatkan diri. Beberapa diantara mereka, Ruslan Abdulgani,
Dul Arnowo, Sungkono, Kusnandar,
dokter Mursito, meloncat ke Kalimas. Seorang pemuda menyusul meloncat dan
berkata kepada Dul Arnowo, ”Sudah beres, Pak”
”Apa
yang sudah beres?” tanya Cak Dul Arnowo.
”Jendral
Inggrisnya, Pak. Mobilnya meledak, dan terbakar,” pemuda tersebut melanjutkan.
”Siapa
yang meledakkan ?”
”Tidak
tahu. Ada granat yang meledak dari dalam mobil, tapi dari pihak kita pun ada
yang menembak ke arah mobil tersebut,” kata pemuda itu.
Para
pemimpin Indonesia terkejut mendengar laporan itu. Lalu berpesan , ”Sudah, diam saja. Jangan cerita hal ini kepada orang
lain!”
Sejak
munculnya artikel itu mulai terbukalah tabir tewasnya Brigadir Jendral Mallaby.
Mulai berani bicara bahwq pembunuh Mallaby adalah orang Indonesia. Tetapi siapa
orangnya, belum juga terungkapkan. Kalau pada tahun 1962 Dul Arnowo kepada Anderson bilang
”tertembak”, maka pada tahun 1973 Ruslan Abdulgani sudah menggunakan kalimat
”...tapi dari pihak kita pun ada yang menembak ke arah mobil tersebut...”
Dan
32 tahun setelah tewasnya Mallaby, di majalah Tempo tahun 1977 seorang pelukis
karikaturis Indonesia yang terkenal namanya, Ook Hendronota, mengaku bahwa
dialah yang telah menembak Brigadir Jendral Mallaby di mobilnya.
Dengan
demikian jelaslah sudah, bahwa tewasnya Jendral Inggris di Jembatan Merah dulu
itu memang benar di bunuh oleh pemuda Indonesia, dan penembaknya Ook
Hendronoto.
Meskipun
sudah diumukan di media massa demikian, namun dalam buku-buku sejarah yang
menceritakan terbunuhnya Mallaby, nama
Ook Hendronoto tetap tidak dicantumkan. Pengakuannya itu belum secara resmi
dibenarkan oleh penulis-penulis buku sejarah.
”BETUL, OOK PEMBUNUHNYA!”
Seorang
laki-laki bernama R. P. Supeno Judowijoyo, baru-baru ini menyampaikan naskah
tulisannya tertanggal Surabaya 10 Nopember 1981 kepada Panitia Penulisan
Sejarah Kepahlawanan 10 Nopember 1945 di Surabaya. Dalam naskah itu ia
menceritakan bahwa ketika terjadi pertempuran 30 Oktober 1945 di depan
Internatio, ia juga berada di situ. Ia menjadi anggota TKR Sambongan pimpinan Abisiswondo. Ketika Kapten Shaw dan
Mohmmad berangkat menuju gedung, Supeno yang menyebut dirinya Sawunggaling itu
juga ingin bersama mereka. Tetapi ditegur oleh Sungkono, ketua BKR Kota
Surabaya,”Engkau tentara, mengapa
ikut-ikutan kesana?” Supeno tidak melanjutkan niatnya, dan berada di dekat
Sungkono.
Ketika
terdengar tembakan dari gedung yang
selanjutnya terjadi pertempuran, Sungkono dan Supeno segera menyelamatkan diri
dengan bersembunyi di bawah kolong mobil yang berada di belakangnya mobil
Mallaby. Sedang galaknya pertempuran, ada dua orang pemuda datang ke tempat
mereka. Seorang menggapai kaki Sipeno, melaporkan bahwa di mobil depan ada
Jendral Inggris. Bagaimana kalau di bunuh saja? Laporan itu diteruskan kepada
Sungkono. Dan Sungkono menjawab , ”Kalau berani...!”. mendapat jawaban itu,
pemuda tadi pergi. Lalu terdengar bunyi tembakan dan ledakan granat. Sebentar kemudian pemuda
tadi kembali ke tempat Supeno,
melaporkan bahwa ia telah menembak Jendral Inggris di mobil depan. Pemuda tadi
pun pergilah.
Setelah
peristiwa itu Supeno tidak pernah
bertemu atau kenal dengan pemuda yang membunuh Mallaby tadi.
Baru
ketika di majalah Tempo dimuat pengkuan Ook Hendronoto, Supeno ingin mengetes
apakah betul Ook pemuda yang menggapai kakinya
sewaktu dia di kolong mobil. Supeno sengaja pergi ke rumah Ook. Dan Ook
pun bercerita. Ook juga menceritakan tentang minta restunya Sungkono di kolong
mobil sebelum menembak Mallaby. Dengan
demikian yakinlah Supeno bahwa Ook lah pemuda yang menggapai kakinya. Ooklah
yang menembak mati Mallaby. Tulis Supeno dalam naskahnya, ”...yang mengetahui betul-betul
peristiwa pembunuhan Brigadir Mallaby hanya tiga orang saja, yakni Supeno, Ook
Hendronoto almarhum, dan Sungkono (Mayor
Jendral ) almarhum”.
Patut
dicatat, bahwa dalam buku, ”Pertempuran Surabaya” tulisan Nugroho Notosusanto,
terbit tahun 1984, pada halaman 71, yang berada di kolong mobil bersama
Sungkono dukan Supeno dari TKR Sambongan, melainkan Subiyantoro anggota BKR
pelajar (hasil wawancara dengan Sungkono). Sedang pada buku ”Seratus Hari di
Surabaya” Ruslan Abdulgani belum pernah meralat tulisan ini. Jadi Sungkono
tidak di kolong mobil, melainkan ikut meloncat ke Kalimas.
SAKSI
LAIN
Pada
hari libur 1 Muharram 1406 H atau Senin 16 September 1985 pagi, penulis
mendapat telepon dari seorang bernama Amak
Altuwy berumah di Ketintang Surabaya. Ia kenal nama penulis dari surat
kabar yang memberitakan bahwa penulis mendapat tugas untuk menulis buku Sejarah
Kepahlawanan 10 November 1945 di Surabaya. Sebagai seorang pelaku pejuang saat itu, Amak
ingin menceritakan pengalamannya kepada penulis. Penulis mempersilakan dia
datang ke rumah penulis. Sore harinya Amak datang bercerita.
Amak
berada di sekitar Jembatan merah ketika pertempuran bersejarah itu berlangsung.
Pada ketika itu ia baru berumur 18
tahun, dan menjadi anggota PRI Utara yang bermarkas di rumah Baswedan
di Kampemenstraat 212 (sekarang JL. H M as Mansyur). Ia ikut-ikutan
berada di lapangan depan Internatio. Tidak kenal pemimpin Indonesia siapa saja yang berada di situ. Ia cuma kenal beberapa
serdadu Inggris dari pakaiannya, dan
seorang India berpakaian serba putih (T. D. Kundan). Tentu saja ia juga kenal
dengan teman-temannya yang berada di
situ, dan kenal juga tetangga-tetangganya.
Cerita
Amak yang paling penting adalah pada waktu mobil Mallaby dihentikan dan Mallaby ditembak, ia berada di
dekat situ. Waktu itu hari mulai rabun, tapi Amak kenal siapa yang
menembak Mallaby, karena tidak lain adalah tetangganya sekampung, H.
Abdul Azis. Amak tahu H Azis menembakkan dengan vickersnya dari jarak dekat. Menggunakan vickers, karena Amak sebagai remaja ingin sekali memiliki senjata seampuh itu, sedang miliknya
sendiri cuma Colt. Karena itu Amak ingat benar peristiwa itu. H Azis adalah
anggota TKR Sambongan.
”Kalau
tidak salah orangnya masih hidup dan menempati rumahnya yang dulu juga,” ujar
Amak. Lalu ia pinjam telepon, menghubungi bekas tetangganya, dan menanyakan
apakah H Azis masih berada di tempat tinggalnya yang dulu. Teman itu menjawab
ya, H. Azis masih di tempatnya yang dulu.
Amak
menganjurkan agar penulis menemui H Azis di rumahnya, untuk membuktikan bahwa
kisahnya tidak bohong. ”Bagaimana kalau kita sekarang kesana?” penulis
menantang. Dan Amak tidak menolak untuk mengantarkan.
Hari
sudah malam ketika kami berangkat ke Surabaya Utara. Kami pergoki H. Azis sedang berada di tepi jalan ramai dekat gang
rumahnya. Amak bersalaman dan mengingatkan bahwa dia dulu tetangga di situ,
tetapi sekarang sudah pindah ke Surabaya Selatan. Lalu mengenalkan H Azis dengan penulis yang ingin tahu kisah-kisah
perjugangan H. Azis.
”Tidak!
Saya tidak tahu apa-apa tentang perjuangan!” ujarnya dengan logat Madura.
Amak
penasaran, ia mencoba mengingatkan peristiwa yang ia saksikan, tetapi H. Azis
tetap tidak mengaku bahwa dirinya ikut berjuang. Dan ia cepat-cepat ingin
menghindar. Amak kelihatan tersipu-sipu.
MENGAPA
DUL ARNOWO DIAM?
Lalu
lintas masih ramai sehingga menyulitkan H. Azis menyeberangi jalan. Penulis
bertanya kepada H. Azis, apakah ia kenal Komandan TKR Sambongan Abisiswondo?
Bukankah H. Azis masih ingat keadaan TKR
Sambongan waktu itu?
”O,
kenal saya sama Abisiswondo dan adiknya, Abisiswadi, dan Ismak. Saya ikut mendirikan TKR Sambongan, merebut
senjata dari tangsi Jepang, mencarikan senjata. Saya keluar biaya 250.000
rupiah dulu. Banyak perjuanganku untuk perjuangan. Tapi apa sekarang
imbalannya? Tidak ada sama sekali. Saya hidup mondok sama istri begini,
anak-anak terlantar di desa! Anak saya sekarang jadi kuli di Junggo dekat
Selekta, tidak sekolah. Saya tidak punya pekerjaan, mengusulkan pensiun tentara
ditolak!” bicaranya tambah lama tambah beremosi.
”Apa
pernah coba mengajukan pensiun?” potong penulis.
”Pernah.
Urus sana, urus sini, tunggu-tunggu dikembalikan. Ditolak!”
”Ada
berkasnya! Dapat saya melihatnya?”
”Ada
berkasnya! Mari saya tunjukkan di rumah!”
Dan
kami menyeberang jalan, dibawa ke rumahnya, masuk gang. Di rumah itu kepada
penulis diperlihatkan berkas usulannya
mengajukan permohonan pensiun, lengkap dengan saksi-saksinya yang antara lain seseorang yang sekarang
masih memegang jabatan di Kantor Gubernur Jawa Timur Surabaya.
Akhirnya
H Azis bercerita tentang perjuangan. Dulu masuk berjuang itu gampang. Bisa baca
sedikit-sedikit, punya keberanian, dan orang bisa masuk tentara. Ketika
bertempur di Internatio, ia menembak orang Inggris di dalam mobil dengan Vickersnya. Orang
Inggris itu mati, dan senjatanya diambil oleh Akhiyat. Akhiyat adalah pejuang
yang terkenal dengan nama ”Alap-alap Simokerto”. Setelah menembak H Azis ikut
menyelamatkan diri masuk ke Kalimas. Di
situ ia lapor sama Dul Arnowo, bahwa Jendral Inggrisnya sudah diberesi. Ia ikut
Dul Arnowo keluar dari sungai di sebelah selatan Jembatan Merah, lalu pergi ke
Hopbiro (kantor polisi). Dari sana dibawa dengan mobil oleh Dul Arnowo ke suatu
rumah di Genteng Kali sebelah barat kabupaten. H. Azis sekali lagi di suruh
menceritakan tentang peristiwa penembakan Jenderal Inggris itu. Selesai
bercerita, Dul Arnowo berkata, ”Sudah, sampai di sini saja. Jasamu besar
sekali. Tapi sementara jangan menceritakan hal ini kepada siapa pun juga, ya?”
H.
Azis melanjutkan berjuang di Tulungrejo dekat Selekta. Dan sering pindah tempat menurut keadaan zaman.
Ketika perang selesai, kedaulatan Republik Indonesia di akui Belanda, H Azis minta berhenti jadi tentara. Pangkat
terakhir Letda Artileri di Nganjuk, bertanggal
27 Desember 1949.
Pada
masa perjuangan H Azis pernah
dipertemukan dengan Bung Karno di Blitar. Di situ oleh Dul Arnowo dan
disaksikan banyak orang ia disuruh
bercerita mengenai penembakan Mallaby. Selesai bercerita , Bung
Karno memuji-mujinya. Dul Arnowo menepuk-nepuk punggungnya,
seraya berkata,”Kau Arek Surabaya yang paling berjasa yang pantas diberi
hadiah!”
Selesai
perang, H Azis kembali ke rumah lama, rumah istrinya. Pada suatu malam rumah
itu di gedor-gedor. Waktu itu suasana pemerintahan masih suasana Recomba,
sehingga ancaman kepada orang Republik
mungkin saja. Dengan cemas H Azis
membuka pintu rumahnya. Ternyata yang datang Gubernur Jawa Timur
Samadikun dan Walikota Surabaya Dul Arnowo dengan beberapa orang lagi. Mereka berkunjung cuma hendak
melihat apa H Azis sudah kembali ke Surabaya dengan selamat.
H
Azis menceritakan betapa kecil hatinya waktu di gedor tadi, karena suasana kota Surabaya
belum aman betul bagi orang-orang Republik. Untuk menenangkan hati H Azis, Gubernur Samadikun menyuruh pasang telepon
di rumah itu, sehingga sewaktu-waktu H
Azis dapat menghubungi Gubernur kalau ada marabahaya. Dan betul juga
pesawat telepon dipasang di rumah H Azis
atas perintah Gubernur.
Apabila
cerita H Azis benar semua, maka jelas
bahwa Dul Arnowo sudah sejak semula
mengetahui siapa pembunuh Brigadir jendral A.W.S. Mallaby. Tetapi
mengapa sampai akhir hayatnya ia tidak
mau menyebutkan nama orang itu? Bahkan
lebih jauh Dul Arnowo bisa menunjukkan orangnya, alamatnya. Mengapa? Apakah Dul Arnowo merasa khawatir akan
keselamatan H. Azis kalau pelaku ini di
kemukakan? Dan apakah kalau orang
bisa menunjukkan siapa pembunuh Mallaby lalu membuat perjuangan arek-arek
Surabaya luntur?
TULISAN SEJARAH
Akhirnya,
hingga tewasnya Mallaby berlalu 40 tahun lamanya, siapa pembunuh Mallaby masih
tidak jelas. Belum terungkapkan. Kasus
ini sama dengan siapa perobek bendera di Oranje Hotel tanggal 19 September
1945, yang akhirnya diputuskan oleh DHD 45, bahwa yang menyobek
bendera Belanda itu Arek-arek Surabaya. Ketika
suasana gawat karena pembunuhan Mallaby
dapat mencemarkan nama bangsa, dapat
dijadikan alasan bagi Christison untuk membalas dendam sehingga menimbulkan
korban yang besar sekali
di pihak Indonesia, orang tidak ada yang berbicara siapa pembunuh
Mallaby. Setelah kedaaan reda,
pandangan tentang siapa pembunuh Mallaby beralih, si pembunuh bisa dianggap
pahlawan, maka orang mulai mengaku atau mengakui siapa pahlawan itu.
Apa
yang harus ditulis dalam sejarah?
Menghadapi
hal seperti ini, penulis buku sejarah harus mempunyai kesadaran bahwa penulisan
buku sejarah memiliki kebenaran pada zamannya dalam kurun waktu tertentu.
Karena itu buku sejarah harus ditulis kembali setiap waktu, disesuaikan dengan
zamannya dan ditambah dengan data baru.
Penulis
menyadari bahwa dalam menulis buku Sejarah Kepahlawanan 1945 di Surabaya ini,
selain yang telah ditulis orang, masih
banyak pengalaman para pelaku perjuangan
yang belum terekam dan dapat di jadikan nara sumber. Tapi dalam menerima kisah
dari para pelaku tadi, penulis harus bisa menyaring benar tidaknya. Sebab
seperti yang di isyaratkan oleh Ruslan Abdulgani, para pelaku ini juga
mengalami penurunan daya ingatan, peningkatan penonjolan diri, dan munculnya
pelaku fiktif.
Akhirnya
masih terpulang juga pada siapa penulis, pembaca atau pengamat sejarah
tersebut. Berpihak pada siapa, atau filsafat apa yang dimiliki oleh penulis dan
pembaca sejarah. Misalnya keterangan R.C Smith, bagi orang Indonesia sulit di
terima. Kalau benar penembakan Mallaby dilakukan setelah pertempuran
selesai, tidak mungkin ada serdadu
Inggris selamat berada di sekitar mobil Mallaby. Sebab di situ, menurut
Amak Altuwy yang menunggui pertempuran itu hingga jauh malam, banyak sekali
pejuang Indonesia yang masih ganas. Serdadu Inggris itu tentu mengalami sama
dengan Mallaby kalau tampak berekelebat di situ. Kapten Shaw saja yang jelas
jadi utusan Mallaby memerlukan di kawal Mohammad untuk menyeberangi lapangan,
karena memang berbahaya untuk serdadu Inggris. Smith bisa selamat tentulah
waktu tembakan baru mulai, sehingga gerakannya luput dari perhatian orang
Indonesia.
Apa yang didengar R.C. Smith
tentang perintah Mallaby agar pasukan Gurkha menyerah juga sulit diterima akal. Mungkinkah seorang perwira tinggi
Inggris memutuskan anak buahnya
menyerah, menuruti kemauan massa rakyat Indonesia? Padahal kedudukan pasukan
Gurkha di Internatio sudah diatur dan disetujui pada
perundingan tingkat tinggi antara Panglima Sekutu Mayor Jendral D.C
Hawthorn (atasan Mallaby) dengan
Presiden Soekarno, perundingan yang justru baru saja disepakati lima jam yang
lalu di Surabaya, disaksikan oleh Mallaby. Apakah Mallaby lupa akan makna dan
amanah perundingan itu?
Demikianlah
kisah detik-detik sejarah yang menentukan nasib dan geloranya bangsa Indonesia
di Surabaya 40 tahun yang lalu. Sekarang kita bisa bilang bahwa memang nasib
bahwa Mallaby harus tewas di Jembatan Merah, dan sarana peristiwa itu Indonesia memiliki Hari Pahlawan 10
November yang patut di banggakan.