Jumat, 08 Maret 2013

H. Abdul Azis tembak Brigjend Mallaby dari jarak satu meter



KLIPING ALBUM PERJUANGAN

BUANA MINGGU
Minggu Pon, 22 DESEMBER 1985

 GURKHA    BIKIN
 PROVOKASI
JENDRAL    MEREKA      MATI

H. ABDUL AZIS tembak Jendral
Mallaby dari jarak satu meter 

Oleh Moestafa



AMAK ALTUWY SAKSI MATA – GURKHA MENEMBAKI DAN MENGHUJANI GRANAT – AZIS MARAH DAN LANGSUNG MENEMBAK MALLABY DAN DUA PERWIRA LAINNYA – MELAPOR KEPADA   DUL   ARNOWO  DAN DIMINTA MERAHASIAKAN – RUSLAN ABDULGANI PERNAH MENCEGAH AMAK ALTUWY MENULIS INSIDEN TERTEMBAKNYA JENDRAL MALLABY -  ULTIMATUM MANSERG DISAMBUT  DENGAN SENJATA OLEH PEJUANG – KALAU TAK KEBURU GENCATAN SENJATA, MALLABY SUDAH TEWAS  PADA DUA HARI SEBELUMNYA – BUNG KARNO JUGA SUDAH DILAPORI OLEH CAK DUL  ARNOWO.

Bermula dari suatu insiden di sudut kota Surabaya akhir Oktober 1945, beberapa tentara Sekutu (Inggris) tewas termasuk seorang perwira tinggi  Brigadir Jendral Mallaby. Inggris naik pitam dan maunya benar sendiri. Secara menyinggung perasaan Panglima Angkatan Darat Sekutu di Jawa Timur Mayor Jendral R.C. Mansergh mengeluarkan ultimatum pada 9 Nopember 1945, berisi perintah agar semua pejuang bersenjata Indonesia menyerahkan diri tanpa syarat.  Kalau perintah itu tak dipatuhi, maka Sekutu akan menggempur Surabaya dari Darat, Laut  dan udara.  Batas ultimatum adalah jam 06.00 – 10 Nopember 1945.   Para pejuang di Surabaya menjawab ultimatum tersebut dengan senjata dan tekad menegakkan kemerdekaan yang telah diproklamirkan  17 Agustus 1945. Merdeka atau  mati! Itulah semboyan kita. Ribuan pejuang dan rakyat gugur dalam pertempuran mati-matian sejak pagi itu sampai awal bulan berikutnya, Desember. Tanggal 10 Nopember dijadikan Hari Pahlawan.

Surabaya, (Buana Minggu). Sampai tahun 80-an  dewasa ini, siapa penembak Brigjend Mallaby belum terungkap jelas. Bahkan mengingat berbagai pertimbangan insiden tersebut tetap dirahasiakan  oleh beberapa tokoh politik  dan pejuang yang sedikit banyak tahu  persis peristiwa. Peristiwa itu sendiri terjadi hanya dalam beberapa detik setelah para pejuang terpancing oleh provokasi Gurkha. Seorang saksi mata dan pelaku penembakan tersebut berhasil ditemui oleh Buana Minggu beberapa waktu lalu secara terpisah.

Amak Altuwy (kini 60 tahun) berdiri di dekat Haji Abdul Azis (kini 72 tahun) insiden tersebut terjadi.  Mereka berdua waktu itu adalah anggota TKR Sambongan, Surabaya.  Di rumahnya JL. Ketintang Baru, Surabaya, Amak Altuwy menuturkan insiden tersebut  masih dengan penuh semangat.

Rentetan peristiwa dimulai pada 25 Oktober 1945 dimana Brigade 49 / Divisi India ke – 23 tentara Sekutu dibawah Komando Brigjend A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya. Dalam sehari itu pertempuran meletus disana sini dan sebenarnya Brigjend Mallaby nyaris sudah tewas  seandainya saja tidak keburu diadakan gencatan senjata. Namun pada kenyataannya fihak Sekutu tidak banyak mematuhi penghentian tembak menembak tersebut. Malah sebaliknya membuat provokasi memancing-mancing insiden.

Sampailah pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 16.00 dimana suatu rombongan tentara Sekutu (Inggris) terdiri dari tiga mobil datang di sekitar Jembatan Merah. Mobil paling depan diantara penumpangnya adalah Brigadir Jendral Mallaby. Waktu itu di depan gedung Internatio dan sekitarnya dikepung oleh para pemuda pejuang. Depan gedung tersebut kini  adalah terminal bis Jembatan Merah. ”Saya sendiri juga ada disitu bersama Haji Abdul Azis,” tutur Amak Altuwy. Dalam gedung terdapat tentara Gurkha.

Menurut Amak, dari mobil Mallaby tersebut seseorang mengeluarkan bendera putih. Beberapa menit ia melambai-lambaikan bendera lalu turun dari mobil dan menuju ke gedung Internatio. Tak lama antaranya orang berbendera putih itu keluar dari gedung kembali ke mobil selanjutnya ketiga mobil bergerak menuju gedung. Dua diantara tiga mobil berisi  anggota Kontak Biro / Panitia Penghubung (Contact Committee). Diantara para anggota panitia ini yang dikenal oleh amak adalah T.D. Kundan (almarhum) orang India pejuang Indonesia yang bertindak selaku juru bahasa, dan Ali Harun (almarhum) dari PRI Utara.  

Begitu mobil yang ditumpangi oleh Mallaby dan beberapa perwira Inggris sampai didepan gedung, para pemuda menyetop dan mengepungnya. Kundan keluar dari mobilnya  dan mendatangi mobil yang sedang dikepung. Terjadilah pembicaraan antara perwira tinggi Inggris  dengan para pemuda melalui juru bahasa Kundan. Pada pokoknya para pemuda minta agar pasukan Gurkha yang berada dalam gedung itu segera dipindahkan ke Tanjung Perak. Selagi pembicaraan belum selesai, sementara pula banyak pemuda bergerombol di depan gedung. Waktu itu saat maghrib, tiba-tiba secara tak terduga dari gedung bertingkat dua itu berjatuhan granat dan meledak disana-sini. Tak diragukan lagi, pasukan Gurkha berniat membantai para pejuang di tempat terbuka  di depan gedung. 

Bertepatan dengan itu saya melihat Azis cepat mencabut pistolnya, sebuah Vickers dan melepaskan beberapa tembakan kearah Mallaby dan beberapa perwira di dalam mobil tersebut, hanya dari jarak sekitar satu meter. Saya melihatnya jelas, karena saya berdiri di dekat Azis. Sopirnya keluar dari mobil, tetapi baru sekitar empat langkah terjungkal jatuh karena tersambar peluru. Saya tidak tahu siapa penembaknya. Yang jelas kemudian tembak menembak terjadi sangat seru!” tutur Amak Altuwy, dan lebih menegaskan lagi: ”Tidak salah lihat! Jelas saya berdiri dekat Abdul Azis saat itu, dan saya kenal baik dengan dia. Jadi tidak mungkin saya salah lihat dan keadaannyapun belum gelap. Masih terang!”


Dimana Haji Abdul Azis?

Sebuah rumah gedeg (anyaman bambu) kecil di Desa Junggo, delapan kilometer dari Batu, Malang Jawa Timur, itulah rumah Haji Abdul Azis sekarang. Ia tinggal bersama istri dan tiga anaknya.  Meskipun sudah berusia lanjut (72 tahun) namun ingatannya masih kuat dan jelas. Ia tidak keberatan menceritakan peristiwa 30 Oktober 1945, detik-detik ia menembak Brigjend Mallaby.

Dimulai dengan munculnya tiga mobil dari arah Jembatan Merah menuju gedung Internatio. ”Mobil paling depan  yang berisi para perwira Inggris itu kami stop dan kepung,” tutur Pak Azis dalam logat Maduranya. ”Kemudian datang Kundan, menjadi juru bahasa antara kami dan Mallaby. Semula ketika distop oleh para pemuda, saya tidak tahu kalau salah seorang perwira itu adalah Mallaby. Baru setelah pembicaraan itu saya tahu, dan dua perwira lainnya berpangkat kapten.

”Selesai pembicaraan, para anggota Panitia Penghubung bersama Kundan dan seorang perwira Inggris masuk gedung Internatio untuk melakukan pembicaraan dengan pihak Gurkha. Sedangkan Mallaby tetap dalam mobil. Kemudian mereka keluar,  tetapi disusul orang-orang Gurkha melempar granat-granat dari dalam gedung dan disertai pula tembakan-tembakan gencar, diarahkan ke para pemuda di sekitar gedung!” tutur Haji Azis yang tiba-tiba bersemangat lagi. ”Melihat keadaan itu saya marah. Tanpa pikir panjang lagi saya cabut pistol Vickers saya, dan langsung saya tembakkan kepada Mallaby. Tembakan saya lakukan dari jarak kira-kira satu meter, karena saya masih berdiri tepat disamping pintu mobil Mallaby. Beberapa kali saya melepaskan tembanakan, dan setelah mengetahui bahwa sasaran saya itu kena, saya lari dan tiarap. Waktu granat-granat tangan dilemparkan dan meledak, dibarengi dengan tembakan gencar dari atas dalam gedung Internatio, para pemuda tiarap. Sambil tiarap kami mengundurkan diri. Semua mencari selamat sendiri-sendiri, termasuk para anggota Kontak Biro kita. Banyak yang terus nyemplung ke Kali Mas di Jembatan Merah, termasuk Cak Dul Arnowo (almarhum). Saya juga terjun ke kali itu. Kami baru muncul lagi di depan Hoofd Bureau (Polwiltabes sekarang). Saya langsung menemui Cak Dul Arnowo  seorang pemimpin kita dan melaporkan kejadian tadi”.
Kepada Cak Dul Arnwo ia mengatakan: ”Wis beres Cak!”

”Apanya yang beres?” tanya Cak Dul.

”Jenderalnya sudah saya tembak!”

Kemudian Dul Arnowo dengan tegas mengatakan :”Diam saja jangan cerita kepada orang lain. Ini rahasia negara!”

Cak Dul Arnowo salah seorang tokoh dan pemimpin Arek-Arek Suroboyo memang tidak pernah menceritakan tentang peristiwa penembakan terhadap Mallaby. Tetapi bahwa ia percaya dan yakin akan kebenaran laporan Azis telah menembak Mallaby, ketika berjumpa lagi dengan Abdul Azis di Blitar tahun 1947 waktu itu Cak Dul mengatakan: ”Saya sudah lapor kepada Bung Karno tentang matinya Brigjend  Mallaby. Nanti kalau kembali ke Surabaya, kamu satu-satunya anak Surabya yang berjasa menembak Mallaby, dan yang harus mendapat bintang istimewa!”

Pada tahun 50-an, Amak Altuwy adalah pegawai adminstrasi Harian Pagi Suara Rakyat di Surabaya. Ia menyatakan keinginannya untuk mengungkapkan tentang peristiwa matinya Mallaby itu kepada Sofwanhadi, Pemimpin Umum / Pemimpin Redaksi Suara Rakyat.  Tetapi maksud Amak Altuwy tadi dicegah oleh Sofwanhadi. ”Jangan ditulis apa-apa dulu tentang matinya Mallaby. Mas Ruslan Abdulgani sudah memperingatkan saya agar tidak menulis di koran tentang tertembaknya Mallaby oleh pejuang kita. Ini rahasia negara dan bisa berbahaya bagi Indonesia kalau ditulis!” kata Sofwan mencegah. Amak Altuwy mengurungkan niatnya tersebut.

Amat disayangkan bahwa sampai akhir hayatnya Dul Arnowo tak pernah mengungkapkan  peristiwa tertembaknya Brigadir Jendral Mallaby oleh H. Abdul Azis.

”Sekitar 17 Agustus 1949, jadi sebelum pemerintah Belanda mengakui  Kedaulatan dan Kemerdekaan Republik Indonesia, Cak Dul Arnowo bersama Pak Samadikun (pernah jadi Gubernur Jawa Timur), Pak Soekarsono (pejabat di Kantor Gubernuran Jawa Timur dan anggota BP7) dan lima orang lagi datang ke rumah saya di tengah malam. Saya tanya kepada Cak Dul, dari mana malam-malam begini datang dengan satu rombongan. Cak Dul mengatakan, bahwa mereka habis rapat dengan Gubernur Militer Jawa Timur Sungkono, dan dinasehatkan supaya bisa menyelamatkan diri masing-masing jika terjadi apa-apa, sebab Belanda mau menghancurkan Surabaya. Kalau nanti sampai jam 03.00 tidak ada apa-apa, maka selamatlah negara kita. Demikian penjelasan Cak Dul Arnowo,” tutur Azis yang sebenarnya takut atas kedatangan mereka tersebut karena tetangganya adalah Asisten Wedana NICA yang bekerja untuk Van Der Plas. Maka untuk mencegah orang NICA itu menelpon  Belanda, malam itu juga Azis memutuskan kabel telpon Asisten Belanda lewat genteng rumahnya. Sebelum rombongan tadi meninggalkan rumah Azis jam 06.00 ia sempat bertanya kepada Cak Dul : ”Mengapa Cak Dul menceritakan semua ini tadi kepada saya dan datang kerumah saya tengah malam?”

Jawab Cak Dul : ”Satu-satunya yang dapat saya percaya adalah kamu!”

Haji Abdul Azis bercerita lebih lanjut,  bahwa pada tahun 1978 atau 1979 ia bersama istri  dan anak-anaknya berkunjung ke rumah Pak Soekarsono di Jalan Bogowonto 25, Surabaya.

Soekarsono memperkenalkan Azis kepada keluarganya dengan megatakan: ”Ini Pak Azis yang dulu menembak Mallaby!” Ny. Abdul Azis dan Effendi, anak tertua Abdul Azis membenarkan adanya ucapan Pak Soekarsono tersebut.

Kini, pejuang tua itu, penembak Brigjen Mallaby, hidup dalam keadaan teramat sederhana, dibawah ukuran layak.  Pangkatnya terakhir H. Abdul Azis adalah Letda. Artileri. Pada tahun 1949 kesatuannya dipindah ke Bandung, tapi Letda H. Abdul Azis tidak ikut dan diberhentikan dengan hormat. (Moes).

  





 

1 komentar: