KLIPING ALBUM PERJUANGAN
BUANA MINGGU
Minggu Pon, 22 DESEMBER 1985
GURKHA
BIKIN
PROVOKASI
JENDRAL MEREKA MATI
H. ABDUL AZIS
tembak Jendral
Mallaby dari
jarak satu meter
Oleh
Moestafa
AMAK ALTUWY SAKSI MATA – GURKHA MENEMBAKI
DAN MENGHUJANI GRANAT – AZIS MARAH DAN LANGSUNG MENEMBAK MALLABY DAN DUA
PERWIRA LAINNYA – MELAPOR KEPADA DUL ARNOWO
DAN DIMINTA MERAHASIAKAN – RUSLAN
ABDULGANI PERNAH MENCEGAH AMAK ALTUWY MENULIS INSIDEN TERTEMBAKNYA JENDRAL
MALLABY - ULTIMATUM MANSERG
DISAMBUT DENGAN SENJATA OLEH PEJUANG –
KALAU TAK KEBURU GENCATAN SENJATA, MALLABY SUDAH TEWAS PADA DUA HARI SEBELUMNYA – BUNG KARNO JUGA
SUDAH DILAPORI OLEH CAK DUL ARNOWO.
Bermula dari suatu
insiden di sudut kota Surabaya akhir Oktober 1945, beberapa tentara Sekutu
(Inggris) tewas termasuk seorang perwira tinggi
Brigadir Jendral Mallaby. Inggris naik pitam dan maunya benar sendiri.
Secara menyinggung perasaan Panglima Angkatan Darat Sekutu di Jawa Timur Mayor
Jendral R.C. Mansergh mengeluarkan ultimatum pada 9 Nopember 1945, berisi
perintah agar semua pejuang bersenjata Indonesia menyerahkan diri tanpa syarat.
Kalau perintah itu tak dipatuhi, maka
Sekutu akan menggempur Surabaya dari Darat, Laut dan udara.
Batas ultimatum adalah jam 06.00 – 10 Nopember 1945. Para pejuang di Surabaya menjawab ultimatum
tersebut dengan senjata dan tekad menegakkan kemerdekaan yang telah
diproklamirkan 17 Agustus 1945. Merdeka
atau mati! Itulah semboyan kita. Ribuan
pejuang dan rakyat gugur dalam pertempuran mati-matian sejak pagi itu sampai
awal bulan berikutnya, Desember. Tanggal 10 Nopember dijadikan Hari Pahlawan.
Surabaya, (Buana Minggu). Sampai tahun 80-an dewasa ini,
siapa penembak Brigjend Mallaby belum terungkap jelas. Bahkan mengingat
berbagai pertimbangan insiden tersebut tetap dirahasiakan oleh beberapa tokoh politik dan pejuang yang sedikit banyak tahu persis peristiwa. Peristiwa itu sendiri
terjadi hanya dalam beberapa detik setelah para pejuang terpancing oleh
provokasi Gurkha. Seorang saksi mata dan pelaku penembakan tersebut berhasil
ditemui oleh Buana Minggu beberapa waktu lalu secara terpisah.
Amak Altuwy (kini 60 tahun) berdiri di dekat Haji Abdul Azis (kini 72
tahun) insiden tersebut terjadi. Mereka berdua waktu itu adalah anggota TKR
Sambongan, Surabaya. Di rumahnya JL.
Ketintang Baru, Surabaya, Amak Altuwy menuturkan insiden tersebut masih dengan penuh semangat.
Rentetan
peristiwa dimulai pada 25 Oktober 1945 dimana Brigade 49 / Divisi India ke – 23
tentara Sekutu dibawah Komando Brigjend A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya.
Dalam sehari itu pertempuran meletus disana sini dan sebenarnya Brigjend
Mallaby nyaris sudah tewas seandainya
saja tidak keburu diadakan gencatan senjata. Namun pada kenyataannya fihak Sekutu
tidak banyak mematuhi penghentian tembak menembak tersebut. Malah sebaliknya
membuat provokasi memancing-mancing insiden.
Sampailah
pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 16.00 dimana suatu rombongan tentara Sekutu
(Inggris) terdiri dari tiga mobil datang di sekitar Jembatan Merah. Mobil paling
depan diantara penumpangnya adalah Brigadir Jendral Mallaby. Waktu itu di depan
gedung Internatio dan sekitarnya dikepung oleh para pemuda pejuang. Depan
gedung tersebut kini adalah terminal bis
Jembatan Merah. ”Saya sendiri juga ada disitu bersama Haji Abdul Azis,” tutur
Amak Altuwy. Dalam gedung terdapat tentara Gurkha.
Menurut
Amak, dari mobil Mallaby tersebut seseorang mengeluarkan bendera putih.
Beberapa menit ia melambai-lambaikan bendera lalu turun dari mobil dan menuju
ke gedung Internatio. Tak lama antaranya orang berbendera putih itu keluar dari
gedung kembali ke mobil selanjutnya ketiga mobil bergerak menuju gedung. Dua
diantara tiga mobil berisi anggota
Kontak Biro / Panitia Penghubung (Contact Committee). Diantara para anggota
panitia ini yang dikenal oleh amak adalah T.D. Kundan (almarhum) orang India
pejuang Indonesia yang bertindak selaku juru bahasa, dan Ali Harun (almarhum)
dari PRI Utara.
Begitu
mobil yang ditumpangi oleh Mallaby dan beberapa perwira Inggris sampai didepan
gedung, para pemuda menyetop dan mengepungnya. Kundan keluar dari mobilnya dan mendatangi mobil yang sedang dikepung.
Terjadilah pembicaraan antara perwira tinggi Inggris dengan para pemuda melalui juru bahasa
Kundan. Pada pokoknya para pemuda minta agar pasukan Gurkha yang berada dalam
gedung itu segera dipindahkan ke Tanjung Perak. Selagi pembicaraan belum
selesai, sementara pula banyak pemuda bergerombol di depan gedung. Waktu itu
saat maghrib, tiba-tiba secara tak terduga dari gedung bertingkat dua itu berjatuhan
granat dan meledak disana-sini. Tak diragukan lagi, pasukan Gurkha berniat
membantai para pejuang di tempat terbuka
di depan gedung.
”Bertepatan dengan itu saya melihat Azis
cepat mencabut pistolnya, sebuah Vickers dan melepaskan beberapa tembakan
kearah Mallaby dan beberapa perwira di dalam mobil tersebut, hanya dari jarak
sekitar satu meter. Saya
melihatnya jelas, karena saya berdiri di dekat Azis. Sopirnya keluar dari
mobil, tetapi baru sekitar empat langkah terjungkal jatuh karena tersambar peluru.
Saya tidak tahu siapa penembaknya. Yang jelas kemudian tembak menembak terjadi
sangat seru!” tutur Amak Altuwy, dan lebih menegaskan lagi: ”Tidak salah lihat!
Jelas saya berdiri dekat Abdul Azis saat itu, dan saya kenal baik dengan dia.
Jadi tidak mungkin saya salah lihat dan keadaannyapun belum gelap. Masih
terang!”
Dimana Haji Abdul Azis?
Sebuah
rumah gedeg (anyaman bambu) kecil di Desa Junggo, delapan kilometer dari Batu,
Malang Jawa Timur, itulah rumah Haji Abdul Azis sekarang. Ia tinggal bersama
istri dan tiga anaknya. Meskipun sudah
berusia lanjut (72 tahun) namun ingatannya masih kuat dan jelas. Ia tidak
keberatan menceritakan peristiwa 30 Oktober 1945, detik-detik ia menembak
Brigjend Mallaby.
Dimulai
dengan munculnya tiga mobil dari arah Jembatan Merah menuju gedung Internatio.
”Mobil paling depan yang berisi para
perwira Inggris itu kami stop dan kepung,” tutur Pak Azis dalam logat
Maduranya. ”Kemudian datang Kundan, menjadi juru bahasa antara kami dan
Mallaby. Semula ketika distop oleh para pemuda, saya tidak tahu kalau salah
seorang perwira itu adalah Mallaby. Baru setelah pembicaraan itu saya tahu, dan
dua perwira lainnya berpangkat kapten.
”Selesai
pembicaraan, para anggota Panitia Penghubung bersama Kundan dan seorang perwira
Inggris masuk gedung Internatio untuk melakukan pembicaraan dengan pihak
Gurkha. Sedangkan Mallaby tetap dalam mobil. Kemudian mereka keluar, tetapi disusul
orang-orang Gurkha melempar granat-granat dari dalam gedung dan disertai pula
tembakan-tembakan gencar, diarahkan ke para pemuda di sekitar gedung!” tutur
Haji Azis yang tiba-tiba bersemangat lagi. ”Melihat keadaan itu saya marah.
Tanpa pikir panjang lagi saya cabut pistol Vickers saya, dan langsung saya
tembakkan kepada Mallaby. Tembakan saya lakukan dari jarak kira-kira satu
meter, karena saya masih berdiri tepat disamping pintu mobil Mallaby.
Beberapa kali saya melepaskan tembanakan, dan setelah mengetahui bahwa sasaran
saya itu kena, saya lari dan tiarap. Waktu granat-granat tangan dilemparkan dan
meledak, dibarengi dengan tembakan gencar dari atas dalam gedung Internatio,
para pemuda tiarap. Sambil tiarap kami mengundurkan diri. Semua mencari selamat
sendiri-sendiri, termasuk para anggota Kontak Biro kita. Banyak yang terus
nyemplung ke Kali Mas di Jembatan Merah, termasuk Cak Dul Arnowo (almarhum).
Saya juga terjun ke kali itu. Kami baru muncul lagi di depan Hoofd Bureau
(Polwiltabes sekarang). Saya langsung menemui Cak Dul Arnowo seorang pemimpin kita dan melaporkan kejadian
tadi”.
Kepada
Cak Dul Arnwo ia mengatakan: ”Wis beres Cak!”
”Apanya
yang beres?” tanya Cak Dul.
”Jenderalnya
sudah saya tembak!”
Kemudian
Dul Arnowo dengan tegas mengatakan :”Diam saja jangan cerita kepada orang lain.
Ini rahasia negara!”
Cak
Dul Arnowo salah seorang tokoh dan pemimpin Arek-Arek Suroboyo memang tidak
pernah menceritakan tentang peristiwa penembakan terhadap Mallaby. Tetapi bahwa
ia percaya dan yakin akan kebenaran laporan Azis telah menembak Mallaby, ketika berjumpa lagi dengan Abdul Azis di
Blitar tahun 1947 waktu itu Cak Dul mengatakan:
”Saya
sudah lapor kepada Bung Karno tentang matinya Brigjend Mallaby. Nanti kalau kembali ke Surabaya,
kamu satu-satunya anak Surabya yang berjasa menembak Mallaby, dan yang harus
mendapat bintang istimewa!”
Pada tahun 50-an, Amak Altuwy
adalah pegawai adminstrasi Harian Pagi Suara Rakyat di Surabaya. Ia menyatakan keinginannya untuk mengungkapkan tentang peristiwa
matinya Mallaby itu kepada Sofwanhadi, Pemimpin Umum / Pemimpin Redaksi Suara
Rakyat. Tetapi maksud Amak Altuwy
tadi dicegah
oleh Sofwanhadi. ”Jangan ditulis apa-apa dulu tentang matinya Mallaby. Mas
Ruslan Abdulgani sudah memperingatkan saya agar tidak menulis di koran tentang
tertembaknya Mallaby oleh pejuang kita. Ini rahasia negara dan bisa berbahaya
bagi Indonesia kalau ditulis!” kata Sofwan mencegah. Amak Altuwy
mengurungkan niatnya tersebut.
Amat disayangkan bahwa sampai
akhir hayatnya Dul Arnowo tak pernah mengungkapkan peristiwa tertembaknya Brigadir Jendral
Mallaby oleh H. Abdul Azis.
”Sekitar
17 Agustus 1949, jadi sebelum pemerintah Belanda mengakui Kedaulatan dan Kemerdekaan Republik
Indonesia, Cak Dul Arnowo bersama Pak Samadikun (pernah jadi Gubernur Jawa
Timur), Pak Soekarsono (pejabat di Kantor Gubernuran Jawa Timur dan anggota
BP7) dan lima orang lagi datang ke rumah saya di tengah malam. Saya tanya
kepada Cak Dul, dari mana malam-malam begini datang dengan satu rombongan. Cak
Dul mengatakan, bahwa mereka habis rapat dengan Gubernur Militer Jawa Timur
Sungkono, dan dinasehatkan supaya bisa menyelamatkan diri masing-masing jika
terjadi apa-apa, sebab Belanda mau menghancurkan Surabaya. Kalau nanti
sampai jam 03.00 tidak ada apa-apa, maka selamatlah negara kita. Demikian
penjelasan Cak Dul Arnowo,” tutur Azis yang sebenarnya takut atas kedatangan
mereka tersebut karena tetangganya adalah Asisten Wedana NICA yang bekerja
untuk Van Der Plas. Maka untuk mencegah orang NICA itu menelpon Belanda, malam itu juga Azis memutuskan kabel
telpon Asisten Belanda lewat genteng rumahnya. Sebelum rombongan tadi meninggalkan
rumah Azis jam 06.00 ia sempat bertanya kepada Cak Dul : ”Mengapa Cak Dul menceritakan semua ini tadi kepada saya dan datang
kerumah saya tengah malam?”
Jawab
Cak Dul : ”Satu-satunya yang dapat saya
percaya adalah kamu!”
Haji
Abdul Azis bercerita lebih lanjut, bahwa
pada tahun 1978 atau 1979 ia bersama istri dan anak-anaknya berkunjung ke rumah Pak
Soekarsono di Jalan Bogowonto 25, Surabaya.
Soekarsono
memperkenalkan Azis kepada keluarganya dengan megatakan: ”Ini Pak Azis yang
dulu menembak Mallaby!” Ny. Abdul Azis dan Effendi, anak tertua Abdul Azis
membenarkan adanya ucapan Pak Soekarsono tersebut.
Kini,
pejuang tua itu, penembak Brigjen Mallaby, hidup dalam keadaan teramat
sederhana, dibawah ukuran layak.
Pangkatnya terakhir H. Abdul Azis adalah Letda. Artileri. Pada tahun
1949 kesatuannya dipindah ke Bandung, tapi Letda H. Abdul Azis tidak ikut dan
diberhentikan dengan hormat. (Moes).
apakah ini benar
BalasHapus