Jumat, 08 Maret 2013

Penembak AWS Mallaby pensiunnya dibatalkan



KLIPPING ALBUM PERJUANGAN

BUANA MINGGU
Minggu Kliwon, 29 DESEMBER 1985
 PENEMBAK
 JENDRAL
MALLABY
KEHILANGAN
PENSIUNNYA

H. ABDUL AZIS dipensiun 1984, belum pernah terima onderstand, pada 1985 distop
Oleh Moestafa



DITAHUN 45 TERGABUNG DALAM TKR DAN MASUK DALAM TNI AD KESATUAN ARTILERI BERPANGKAT LETDA  -  PENSIUN DIBATALKAN  DITAHUN 1984 TANPA TAHU SEBABNYA - 

Surabaya, (Buana Minggu). Haji Abdul Azis sebelum proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah seorang juragan telor, yang keadaannya lumayan. Sejak proklamasi ia langsung ikut berjuang bersama-sama Arek-Arek Suroboyo. Azis adalah penembak Brigadir Mallaby pada 30 Oktober 1945, dengan saksi mata Amak Altuwy. (Buana Minggu 22 Desember 1985 yang lalu).
Abdul Azis tergabung  dalam TKR Sambongan, Surabaya, dikemudian resmi masuk  dalam formasi TNI-AD, kesatuannya Atileri, berpangkat Letda. Tahun 1949 ia keluar dengan hormat dari kesatuannya, karena kesatuannya akan dipindah ke Bandung.

Istrinya pertama meninggal dunia ketika mereka belum mempunyai anak. Pada 13 Januari 1963 ia menikah lagi dengan seorang janda yang belum mempunyai anak. Dari perkawinan ini sekarang mereka mempunyai tiga anak masing-masing Akhmad Effendi  22 tahun, Amelia Ersita  18 tahun dan Arif Erwinadi 16 tahun.

Berhenti dari TNI-AD dirasakan beban hidupnya menjadi semakin berat, maka Abdul Azis mengajukan permohonan pensiun, kepada Menteri Pertahanan & Keamanan.
Permohonan Azis mendapat jawaban, dan Surat Keputusan Menteri Pertahanan  Keamanan Panglima Angkatan Bersenjata, Nomor : Skep 073696-S10-380XLV 1983 tentang Pemberian Pensiun/Onderstand Terus-menerus keluar. Dalam SK tersebut dikatakan, bahwa kepada :

Nama : H. Abdul Azis
Pangkat : Letda
Kesatuan : Artileri

Diberikan onderstand terus menerus  atas beban Anggaran Belanja Negara Republik Indonesia sebesar Rp 22.500 (duapuluh dua ribu limaratus rupiah), ditetapkan di Bandung 16 September 1983.

SK tersebut ditanda tangani oleh A.n. Men Hankam Panglima Angkatan Bersenjata Kepala Staf TNI-Aangkatan Darat U.b......Selardi, Brigadir Jendral TNI.

Belum lagi yang bersangkutan menerima onderstand yang disebutkan dalam SK tersebut diatas, pada 27 Desember 1984 telah dikeluarkan SK  lagi Nomor : Skep/61951/XLV-XII/1984; tentang Pembatalan Pemberian  Pensiun/Onderstand Terus Menerus. Dengan catatan, apabila dikemudian hari  terdapat kekeliruan akan diadakan perubahan ralat seperlunya. Pada 28 Februari 1985 Abdul Azis menerima Petikan dari Sknya dari Departemen Keuangan Republik Indonesia Dirjen Anggaran Kantor Perbendaharaan Negara Surabaya.

Kepada Buana Minggu Abdul Azis mengatakan ia sendiri  tidak mengerti mengapa keputusan tentang pemberian onderstand itu dibatalkan. Apakah salahnya, atau apakah yang diragukan. Kalau ia tahu ada kekurangannya, maka dapat ia melengkapinya. (Moes)***

H. Abdul Azis tembak Brigjend Mallaby dari jarak satu meter



KLIPING ALBUM PERJUANGAN

BUANA MINGGU
Minggu Pon, 22 DESEMBER 1985

 GURKHA    BIKIN
 PROVOKASI
JENDRAL    MEREKA      MATI

H. ABDUL AZIS tembak Jendral
Mallaby dari jarak satu meter 

Oleh Moestafa



AMAK ALTUWY SAKSI MATA – GURKHA MENEMBAKI DAN MENGHUJANI GRANAT – AZIS MARAH DAN LANGSUNG MENEMBAK MALLABY DAN DUA PERWIRA LAINNYA – MELAPOR KEPADA   DUL   ARNOWO  DAN DIMINTA MERAHASIAKAN – RUSLAN ABDULGANI PERNAH MENCEGAH AMAK ALTUWY MENULIS INSIDEN TERTEMBAKNYA JENDRAL MALLABY -  ULTIMATUM MANSERG DISAMBUT  DENGAN SENJATA OLEH PEJUANG – KALAU TAK KEBURU GENCATAN SENJATA, MALLABY SUDAH TEWAS  PADA DUA HARI SEBELUMNYA – BUNG KARNO JUGA SUDAH DILAPORI OLEH CAK DUL  ARNOWO.

Bermula dari suatu insiden di sudut kota Surabaya akhir Oktober 1945, beberapa tentara Sekutu (Inggris) tewas termasuk seorang perwira tinggi  Brigadir Jendral Mallaby. Inggris naik pitam dan maunya benar sendiri. Secara menyinggung perasaan Panglima Angkatan Darat Sekutu di Jawa Timur Mayor Jendral R.C. Mansergh mengeluarkan ultimatum pada 9 Nopember 1945, berisi perintah agar semua pejuang bersenjata Indonesia menyerahkan diri tanpa syarat.  Kalau perintah itu tak dipatuhi, maka Sekutu akan menggempur Surabaya dari Darat, Laut  dan udara.  Batas ultimatum adalah jam 06.00 – 10 Nopember 1945.   Para pejuang di Surabaya menjawab ultimatum tersebut dengan senjata dan tekad menegakkan kemerdekaan yang telah diproklamirkan  17 Agustus 1945. Merdeka atau  mati! Itulah semboyan kita. Ribuan pejuang dan rakyat gugur dalam pertempuran mati-matian sejak pagi itu sampai awal bulan berikutnya, Desember. Tanggal 10 Nopember dijadikan Hari Pahlawan.

Surabaya, (Buana Minggu). Sampai tahun 80-an  dewasa ini, siapa penembak Brigjend Mallaby belum terungkap jelas. Bahkan mengingat berbagai pertimbangan insiden tersebut tetap dirahasiakan  oleh beberapa tokoh politik  dan pejuang yang sedikit banyak tahu  persis peristiwa. Peristiwa itu sendiri terjadi hanya dalam beberapa detik setelah para pejuang terpancing oleh provokasi Gurkha. Seorang saksi mata dan pelaku penembakan tersebut berhasil ditemui oleh Buana Minggu beberapa waktu lalu secara terpisah.

Amak Altuwy (kini 60 tahun) berdiri di dekat Haji Abdul Azis (kini 72 tahun) insiden tersebut terjadi.  Mereka berdua waktu itu adalah anggota TKR Sambongan, Surabaya.  Di rumahnya JL. Ketintang Baru, Surabaya, Amak Altuwy menuturkan insiden tersebut  masih dengan penuh semangat.

Rentetan peristiwa dimulai pada 25 Oktober 1945 dimana Brigade 49 / Divisi India ke – 23 tentara Sekutu dibawah Komando Brigjend A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya. Dalam sehari itu pertempuran meletus disana sini dan sebenarnya Brigjend Mallaby nyaris sudah tewas  seandainya saja tidak keburu diadakan gencatan senjata. Namun pada kenyataannya fihak Sekutu tidak banyak mematuhi penghentian tembak menembak tersebut. Malah sebaliknya membuat provokasi memancing-mancing insiden.

Sampailah pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 16.00 dimana suatu rombongan tentara Sekutu (Inggris) terdiri dari tiga mobil datang di sekitar Jembatan Merah. Mobil paling depan diantara penumpangnya adalah Brigadir Jendral Mallaby. Waktu itu di depan gedung Internatio dan sekitarnya dikepung oleh para pemuda pejuang. Depan gedung tersebut kini  adalah terminal bis Jembatan Merah. ”Saya sendiri juga ada disitu bersama Haji Abdul Azis,” tutur Amak Altuwy. Dalam gedung terdapat tentara Gurkha.

Menurut Amak, dari mobil Mallaby tersebut seseorang mengeluarkan bendera putih. Beberapa menit ia melambai-lambaikan bendera lalu turun dari mobil dan menuju ke gedung Internatio. Tak lama antaranya orang berbendera putih itu keluar dari gedung kembali ke mobil selanjutnya ketiga mobil bergerak menuju gedung. Dua diantara tiga mobil berisi  anggota Kontak Biro / Panitia Penghubung (Contact Committee). Diantara para anggota panitia ini yang dikenal oleh amak adalah T.D. Kundan (almarhum) orang India pejuang Indonesia yang bertindak selaku juru bahasa, dan Ali Harun (almarhum) dari PRI Utara.  

Begitu mobil yang ditumpangi oleh Mallaby dan beberapa perwira Inggris sampai didepan gedung, para pemuda menyetop dan mengepungnya. Kundan keluar dari mobilnya  dan mendatangi mobil yang sedang dikepung. Terjadilah pembicaraan antara perwira tinggi Inggris  dengan para pemuda melalui juru bahasa Kundan. Pada pokoknya para pemuda minta agar pasukan Gurkha yang berada dalam gedung itu segera dipindahkan ke Tanjung Perak. Selagi pembicaraan belum selesai, sementara pula banyak pemuda bergerombol di depan gedung. Waktu itu saat maghrib, tiba-tiba secara tak terduga dari gedung bertingkat dua itu berjatuhan granat dan meledak disana-sini. Tak diragukan lagi, pasukan Gurkha berniat membantai para pejuang di tempat terbuka  di depan gedung. 

Bertepatan dengan itu saya melihat Azis cepat mencabut pistolnya, sebuah Vickers dan melepaskan beberapa tembakan kearah Mallaby dan beberapa perwira di dalam mobil tersebut, hanya dari jarak sekitar satu meter. Saya melihatnya jelas, karena saya berdiri di dekat Azis. Sopirnya keluar dari mobil, tetapi baru sekitar empat langkah terjungkal jatuh karena tersambar peluru. Saya tidak tahu siapa penembaknya. Yang jelas kemudian tembak menembak terjadi sangat seru!” tutur Amak Altuwy, dan lebih menegaskan lagi: ”Tidak salah lihat! Jelas saya berdiri dekat Abdul Azis saat itu, dan saya kenal baik dengan dia. Jadi tidak mungkin saya salah lihat dan keadaannyapun belum gelap. Masih terang!”


Dimana Haji Abdul Azis?

Sebuah rumah gedeg (anyaman bambu) kecil di Desa Junggo, delapan kilometer dari Batu, Malang Jawa Timur, itulah rumah Haji Abdul Azis sekarang. Ia tinggal bersama istri dan tiga anaknya.  Meskipun sudah berusia lanjut (72 tahun) namun ingatannya masih kuat dan jelas. Ia tidak keberatan menceritakan peristiwa 30 Oktober 1945, detik-detik ia menembak Brigjend Mallaby.

Dimulai dengan munculnya tiga mobil dari arah Jembatan Merah menuju gedung Internatio. ”Mobil paling depan  yang berisi para perwira Inggris itu kami stop dan kepung,” tutur Pak Azis dalam logat Maduranya. ”Kemudian datang Kundan, menjadi juru bahasa antara kami dan Mallaby. Semula ketika distop oleh para pemuda, saya tidak tahu kalau salah seorang perwira itu adalah Mallaby. Baru setelah pembicaraan itu saya tahu, dan dua perwira lainnya berpangkat kapten.

”Selesai pembicaraan, para anggota Panitia Penghubung bersama Kundan dan seorang perwira Inggris masuk gedung Internatio untuk melakukan pembicaraan dengan pihak Gurkha. Sedangkan Mallaby tetap dalam mobil. Kemudian mereka keluar,  tetapi disusul orang-orang Gurkha melempar granat-granat dari dalam gedung dan disertai pula tembakan-tembakan gencar, diarahkan ke para pemuda di sekitar gedung!” tutur Haji Azis yang tiba-tiba bersemangat lagi. ”Melihat keadaan itu saya marah. Tanpa pikir panjang lagi saya cabut pistol Vickers saya, dan langsung saya tembakkan kepada Mallaby. Tembakan saya lakukan dari jarak kira-kira satu meter, karena saya masih berdiri tepat disamping pintu mobil Mallaby. Beberapa kali saya melepaskan tembanakan, dan setelah mengetahui bahwa sasaran saya itu kena, saya lari dan tiarap. Waktu granat-granat tangan dilemparkan dan meledak, dibarengi dengan tembakan gencar dari atas dalam gedung Internatio, para pemuda tiarap. Sambil tiarap kami mengundurkan diri. Semua mencari selamat sendiri-sendiri, termasuk para anggota Kontak Biro kita. Banyak yang terus nyemplung ke Kali Mas di Jembatan Merah, termasuk Cak Dul Arnowo (almarhum). Saya juga terjun ke kali itu. Kami baru muncul lagi di depan Hoofd Bureau (Polwiltabes sekarang). Saya langsung menemui Cak Dul Arnowo  seorang pemimpin kita dan melaporkan kejadian tadi”.
Kepada Cak Dul Arnwo ia mengatakan: ”Wis beres Cak!”

”Apanya yang beres?” tanya Cak Dul.

”Jenderalnya sudah saya tembak!”

Kemudian Dul Arnowo dengan tegas mengatakan :”Diam saja jangan cerita kepada orang lain. Ini rahasia negara!”

Cak Dul Arnowo salah seorang tokoh dan pemimpin Arek-Arek Suroboyo memang tidak pernah menceritakan tentang peristiwa penembakan terhadap Mallaby. Tetapi bahwa ia percaya dan yakin akan kebenaran laporan Azis telah menembak Mallaby, ketika berjumpa lagi dengan Abdul Azis di Blitar tahun 1947 waktu itu Cak Dul mengatakan: ”Saya sudah lapor kepada Bung Karno tentang matinya Brigjend  Mallaby. Nanti kalau kembali ke Surabaya, kamu satu-satunya anak Surabya yang berjasa menembak Mallaby, dan yang harus mendapat bintang istimewa!”

Pada tahun 50-an, Amak Altuwy adalah pegawai adminstrasi Harian Pagi Suara Rakyat di Surabaya. Ia menyatakan keinginannya untuk mengungkapkan tentang peristiwa matinya Mallaby itu kepada Sofwanhadi, Pemimpin Umum / Pemimpin Redaksi Suara Rakyat.  Tetapi maksud Amak Altuwy tadi dicegah oleh Sofwanhadi. ”Jangan ditulis apa-apa dulu tentang matinya Mallaby. Mas Ruslan Abdulgani sudah memperingatkan saya agar tidak menulis di koran tentang tertembaknya Mallaby oleh pejuang kita. Ini rahasia negara dan bisa berbahaya bagi Indonesia kalau ditulis!” kata Sofwan mencegah. Amak Altuwy mengurungkan niatnya tersebut.

Amat disayangkan bahwa sampai akhir hayatnya Dul Arnowo tak pernah mengungkapkan  peristiwa tertembaknya Brigadir Jendral Mallaby oleh H. Abdul Azis.

”Sekitar 17 Agustus 1949, jadi sebelum pemerintah Belanda mengakui  Kedaulatan dan Kemerdekaan Republik Indonesia, Cak Dul Arnowo bersama Pak Samadikun (pernah jadi Gubernur Jawa Timur), Pak Soekarsono (pejabat di Kantor Gubernuran Jawa Timur dan anggota BP7) dan lima orang lagi datang ke rumah saya di tengah malam. Saya tanya kepada Cak Dul, dari mana malam-malam begini datang dengan satu rombongan. Cak Dul mengatakan, bahwa mereka habis rapat dengan Gubernur Militer Jawa Timur Sungkono, dan dinasehatkan supaya bisa menyelamatkan diri masing-masing jika terjadi apa-apa, sebab Belanda mau menghancurkan Surabaya. Kalau nanti sampai jam 03.00 tidak ada apa-apa, maka selamatlah negara kita. Demikian penjelasan Cak Dul Arnowo,” tutur Azis yang sebenarnya takut atas kedatangan mereka tersebut karena tetangganya adalah Asisten Wedana NICA yang bekerja untuk Van Der Plas. Maka untuk mencegah orang NICA itu menelpon  Belanda, malam itu juga Azis memutuskan kabel telpon Asisten Belanda lewat genteng rumahnya. Sebelum rombongan tadi meninggalkan rumah Azis jam 06.00 ia sempat bertanya kepada Cak Dul : ”Mengapa Cak Dul menceritakan semua ini tadi kepada saya dan datang kerumah saya tengah malam?”

Jawab Cak Dul : ”Satu-satunya yang dapat saya percaya adalah kamu!”

Haji Abdul Azis bercerita lebih lanjut,  bahwa pada tahun 1978 atau 1979 ia bersama istri  dan anak-anaknya berkunjung ke rumah Pak Soekarsono di Jalan Bogowonto 25, Surabaya.

Soekarsono memperkenalkan Azis kepada keluarganya dengan megatakan: ”Ini Pak Azis yang dulu menembak Mallaby!” Ny. Abdul Azis dan Effendi, anak tertua Abdul Azis membenarkan adanya ucapan Pak Soekarsono tersebut.

Kini, pejuang tua itu, penembak Brigjen Mallaby, hidup dalam keadaan teramat sederhana, dibawah ukuran layak.  Pangkatnya terakhir H. Abdul Azis adalah Letda. Artileri. Pada tahun 1949 kesatuannya dipindah ke Bandung, tapi Letda H. Abdul Azis tidak ikut dan diberhentikan dengan hormat. (Moes).

  





 

Kamis, 07 Maret 2013

Dul Arnowo tidak bercerita, Siapakah Pembunuh Brigjend AWS Mallaby?



KLIPPING ALBUM PERJUANGAN

HARIAN  SURABAYA POST
RABU, 6 NOPEMBER 1985

SIAPA PEMBUNUH  Brigjend AWS MALLABY, MENGAPA  DUL  ARNOWO TIDAK BERCERITA?

Oleh Suparto Brata

Sampai tahun 1973 , orang masih bertanya-tanya siapakah pembunuh Brigadir Jendral A.W.S. Mallaby. Tentu saja beberapa pelaku perjuangan saat itu banyak yang tahu jawabnya. Dan tidak mau menguraikan apa pendapatnya, lebih-lebih dalam bentuk tulisan.

Jadi bagi orang awam sampai saat ini tentang kematian Mallaby merupakan misteri. Orang tahu bahwa pada akhir hayatnya Brigadir Mallaby  bersama-sama  anggota Kontak Biro  Indonesia berusaha menghentikan tembak menembak  di Internatio Jembatan Merah Surabaya.  Iring-iringan mobil mereka sampai di depan gedung Internatio, tembak menembak  berhasil dihentikan. Jendral Inggris itu sempat berbicara dengan pasukan Gurkha yang berada di dalam gedung. Dengan berhentinya tembakan, pejuang Indonesia yang mengepung gedung keluar dari persembunyiannya, beramai-ramai mengerumuni mobil-mobil  yang  berhenti di depan gedung. Mereka menuntut agar pasukan  Gurkha yang ada di dalam gedung meletakkan senjata dan keluar, untuk dipindahkan ke pelabuhan. Sebab merekalah  yang terus menerus menembaki orang lewat di sekitar gedung, sehingga daerah itu tidak aman.
Pihak pemimpin Indonesia, baik Dul Arnowo maupun Sudirman, mencoba memberi keterangan, bahwa pasukan Gurkha akan dipindahkan esok siang oleh TKR. Para pejuang Indonesia kelihatannya mau menerima hal itu.

Brigadir Jendral Mallaby kembali  masuk mobilnya, dan meneruskan perjalanan  ke tempat lain yang masih terdengar tembak menembak. Mobilnya maju, lalu menikung ke kanan, lewat Willemplein Noord menuju Jembatan Merah. Melihat hal ini para  pemimpin Indonesia juga masuk mobilnya, dan meninggalkan Internatio. Pada waktu itu para pejuang  Indonesia memenuhi  tanah lapang di depan gedung tersebut.

Melihat iring-iringan mobil meninggalkan gedung, sedangkan pasukan Gurkha masih tetap berada di dalamnya, mereka kecewa. Terutama yang tidak mendengar keterangan  Dul Arnowo dan Sudirman. Lalu berteriak untuk menghentikan mobil-mobil itu, terutama mobil  yang ditumpangi oleh Mallaby. Mobil berhenti, dan mereka kembali menuntut  agar pasukan Gurkha di Internatio dipindahkan sekarang juga.

TEMBAKAN DARI GEDUNG
Banyak saksi kejadian itu kemudian tahu bahwa Mallaby  mengutus Kapten Shaw pergi ke Gedung Internatio.  Sumber Indonesia  menceritakan bahwa  sebenarnya Mallaby sendiri  yang akan pergi, tetapi dicegah oleh anggota Kontak Biro, dengan pertimbangan akan lebih berbahaya kalau kedua belah pihak berkonfrontasi langsung. Untuk lebih mantapnya , perjalanan Kapten Shaw ini diikuti oleh seorang perwira Indonesia, Mohmmad Mangundiprojo (sekarang pensiunan Gubernur Lampung di Tanjungkarang). Juga diikuti oleh T. D. Kundan sebagai juru bahasa. T. D. Kundan ini seorang pengusaha  bangsa India di Surabaya yang bersimpati dengan perjuangan Indonesia.

Sementara para utusan pergi ke gedung, Mallaby dan para anggota Kontak Biro menunggu di tempat mobilnya. Dari gedung kira-kira 200 meter jauhnya,  dan hanya beberaapa meter saja dari Kalimas dan Jembatan Merah.

Sepuluh menit berlalu. Lalu larilah T.D. Kundan keluar gedung, memperingatkan bahwa pasukan Inggris di gedung mempersiapkan tembakan. Dan benar juga, tembakan gencar terdengar diikuti ledakan granat di sekitar  gedung. Pemuda pejuang yang semula ramai  berada di halaman depan  gedung segera lari lintang pukang berlindung menghindari tembakan. Terjadilah tembak menembak lagi antara pasukan Gurkha di gedung dan pejuang Indonesia yang mengepungnya.




MALLABY VERMIST
Itulah peristiwa yang terjadi 40 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 30 oktober 1945, petang hari.

Keesokan harinya dikhabarkan bahwa Brigadir Jendral Mallaby hilang. Maksudnya tidak kembali ke markasnya.  Oleh para pemimpin Indonesia  dikatakan vermist. Istilah Belanda itu artinya hilang. Sedangkan pihak Inggris sudah memastikan  bahwa Mallaby killed, meskipun pada kenyataannya mereka tidak menemukan  mayat Mallaby. Killed artinya bisa tewas, bisa terbunuh. Kepastian berita itu  tentulah  gara-gara laporan  Kapten R. C. Smith, pengawal Mallaby waktu di Internatio, yang berhasil menyelamatkan diri  dan menghubungi markasnya di pelabuhan, lima jam setelah peristiwa di Jembatan Merah. Ia melaporkan bahwa Mallaby ditembak oleh orang-orang Indonesia  bersenjata. Letnan Jendral Christison pada tanggal 31 Oktober 1945 menuduh bahwa Mallaby was foully murdered.

Kapten R. C. Smith adalah perwira penghubung. Ketika Kapten Shaw pergi ke gedung, ia bersama Kapten T. L. Laughland  dan Brigadir Mallaby kembali masuk ke mobilnya. Duduk bertiga dengan susunan Mallaby  pada sisi dekat Kalimas, Laughland di tengah, dan ia  di sisi  dekat gedung Internatio. Ketika tembak menembak berlangsung, mereka bertiga hanya meringkuk di dasar  mobil. Setelah bertempur selama dua setengah jam, maka terdengar aba-aba menghentikan tembakan. Tembak menembak berhenti. Terdengar aba-aba Indonesia seolah-olah mengumpulkan temannya.

Pada saat itu ada dua orang Indonesia datang ke tempat mobil. Mereka mencoba menjalankan mobil, tetapi gagal. Seorang dari mereka membuka pintu belakang  sebelah Mallaby. Mallaby bergerak dan menyuruh pemuda tadi untuk menghubungi anggota Kontak Biro  Indonesia. Pejuang Indonesia  itu pergi berunding dengan teman-temannya. Kemudian kembali mendekati mobil dan menembak kearah Mallaby lewat jendela depan, Mallaby kena. Setelah menembak, pemuda tadi bersembunyi dibalik pintu belakang yang terbuka.

Baik Smith maupun Laughland tidak membawa senjata apa-apa. Hanya Laughland menyembunyikan sebutir granat. Ketika pemuda tadi mulai menembak Mallaby, Laughland memberikan granatnya kepada Smith. Oleh Smith granat dibuka pennya, diketokkan.  Pemuda yang bersembunyi  segera muncul lagi dan menembakkan senjatanya tiga kali berturut-turut. Tetapi pelurunya tidak mengenai sasaran, hanya menyerempet Laughland. Pada saat itu granat dilemparkan ke tempat pemuda lewat bawah pintu yang masih terbuka dan meledak,. Setelah ledakan barulah Smith dan Laughland keluar dari mobil lewat sisi Smith. Menilik bunyi napasnya, Mallaby telah tewas. Smith dan Lauhland memutari belakang mobil, lalu terjun ke Kalimas. Setelah menghanyutkan diri selama lima jam baru dapat keluar di daerah pelabuhan.

Berdasarkan laporan Smith ini, maka Letnan Jendral Christison, Panglima Tentara Sekutu di Asia Tenggara, mengancam akan mengerahkan  kekuatan tentaranya sampai pasukan Indonesia hancur, kecuali kalau ekstremis Indonesia yang membunuh Mallaby menyerah kepada pasukan Inggris (...unless the Indonesians,  who have committed these acts surrender to my forces, I intend  to bring the whole  weight of my sea, land and forces and all the weapons of modern war against them until they are crushed).

GUGUR TERHORMAT
Untuk sementara ketika tuduhan pembunuhan Mallaby dilancarkan pihak Inggris, pihak Indonesia bungkam. Tidak secara lugas membicarakan siapa pembunuh Mallaby, melainkan sebab musababnya atau mengapa Mallaby tewas. Dul Arnowo spontan menanggapi ancaman Christison  dengan laporan yang sesungguhnya,  bahwa Mallaby tewas karena pertempuran yang dicetuskan  lebih dulu oleh pihak Gurkha yang berada di gedung. Kalau pasukan Gurkha itu tidak mulai menembak lebih dahulu, tentulah pertempuran tidak terjadi!

Menurut T. D. Kundan, ia sudah curiga sejak di dengarnya percakapan Kapten Shaw dan Mallaby sebelum mereka berpisah di Jembatan Merah. Kapten Shaw seperti memperingatkan Mallaby  bahwa apa yang diperintahkan kepadanya itu akan membahayakan keselamatan Mallaby. Tetapi Mallaby ngotot apa yang diperintahkan harus dilaksanakan. Untuk melakukan itu hanya diberi waktu selama sepuluh menit berada di gedung. Apa perintah Mallaby kalau bukan open fire? Itulah sebabnya T. D. Kundan segera lari keluar! Di dalam gedung ia melihat Kapten Shaw berbicara dengan seseorang Gurkha dalam bahasa India yang kebetulan Kundan mengerti. Lalu pasukan Gurkha mempersiapkan senjata tembaknya di depan jendela tingkat dua di tujukan kearah mobil-mobil anggota Kontak Biro.

Jadi penembakan pertama yang dilakukan oleh pasukan Gurkha  dari gedung adalah atas perintah Kapten Shaw, dan Kapten Shaw menjalankan perintah Brigadir Jendral Mallaby.

Cerita ini dibantah oleh Dr. R.C. Smith yang waktu itu kapten; 29  tahun kemudian dari peristiwanya. Pada bulan Februari 1974 ia menyatakan bahwa  ketika terjadi penghentian mobil Malabby, ia selalu di dekat komandannya. Apa pun yang di bicarakan dengan Kapten Shaw tentu di dengarnya. Menurut R. C. Smith, Kapten Shaw lah yang mula-mula menganjurkan agar tuntutan para pejuang itu dikabulkan. Mallaby menolak. Tapi lalu berubah setuju, dengan pertimbangan dengan segera diangkutnya pasukan Gurkha  dari Internatio  mereka akan selamat  dan segera beristirahat. Itu lebih baik dari pada dalam keadaan kelelahan, kekurangan makan dan minum, dan tegang karena telah bertempur  sejak tanggal 28 Otober 1945  melawan pejuang Indonesia. Jadi perintah Mallaby kepada Kapten Shaw adalah meletakkan senjata, para pasukan Gurkha keluar gedung,  dan diangkut oleh TKR ke pelabuhan!

Tapi nyatanya terjadi penembakan pertama dari pihak pasukan Gurkha!

Mayor K. Venu Gopal, yang memimpin pasukan Gurkha di gedung Internatio, menjelaskan bahwa penembakan itu adalah prakarsanya sendiri. Ia tidak diperintahkan oleh Kapten Shaw maupun Brigadir Jendral Mallaby. Kapten Shaw tidak memerintahkan apa-apa ketika  masuk ke gedung bertemu dengan dia di serambi, ia langsung naik ke tingkat dua. Di serambi banyak pemuda Indonesia bersenjata ingin masuk ke gedung. Gopal mengancam akan menembaknya. Dan karena pemuda-pemuda tadi terus berdesakan hendak masuk gedung, akhirnya ia menembak.

Sekalipun pihak Indonesia sampai beberapa tahun lamanya tidak berkomentar langsung mengenai Mallaby di tembak oleh siapa, paling-paling oleh peluru nyasar atau bahkan disengaja oleh pasukan Gurkha di gedung Internatio, namun dari pihak Inggris kemudian hari juga ada yang tidak terlalu tajam menuduh tewasnya  itu dilakukan oleh ekstremis  Indonesia. Kira-kira 100 hari setelah tewasnya Mallaby, tepatnya tanggal 20 Februari 1946, Tom Driberg, anggota parlemen Inggris berpidato pada sidang House of Commons, menyatkan bahwa”... Brigadier Mallaby was not murdered but was honourably killed in action...”, gugur terhormat dalam pertempuran.

”AKU PEMBUNUH MALLABY!”
Yang paling dulu dari pihak Indonesia mengakui bahwa tewasnya Mallaby oleh orang Indonesia  adalah Dul Arnowo. Ketika itu di wawancarai oleh penulis buku Java, Andrson, pada tanggal 13 Agustus 1962, ia mengakui bahwa Mallaby tewas tertembak oleh orang-orang pihaknya (...Mallaby had been accidentally  shot by his own men). Dul Arnowo lebih lebar lagi  membuka tabir pembunuhan Mallaby oleh pihak Indonesia pada tulisan Ruslan Abdulgani ”Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia”, yang disiarkan pertama kalinya oleh Surabaya Post tanggal 25 Oktober – 9 November 1973. Dalam tulisan itu diceritakan bahwa ketika tembak menembak berlangsung, para anggota Kontak Biro Indonesia sudah tidak perduli lagi apa tugasnya. Yang paling penting menyelamatkan diri. Beberapa diantara mereka, Ruslan Abdulgani, Dul Arnowo, Sungkono, Kusnandar, dokter Mursito, meloncat ke Kalimas. Seorang pemuda menyusul meloncat dan berkata kepada Dul Arnowo, ”Sudah beres, Pak”

”Apa yang sudah beres?” tanya Cak Dul Arnowo.

”Jendral Inggrisnya, Pak. Mobilnya meledak, dan terbakar,” pemuda tersebut melanjutkan.

”Siapa yang meledakkan ?”

”Tidak tahu. Ada granat yang meledak dari dalam mobil, tapi dari pihak kita pun ada yang menembak ke arah mobil tersebut,” kata pemuda itu.

Para pemimpin Indonesia terkejut mendengar laporan itu. Lalu berpesan , ”Sudah,  diam saja. Jangan cerita hal ini kepada orang lain!”

Sejak munculnya artikel itu mulai terbukalah tabir tewasnya Brigadir Jendral Mallaby. Mulai berani bicara bahwq pembunuh Mallaby adalah orang Indonesia. Tetapi siapa orangnya, belum juga terungkapkan. Kalau pada tahun 1962  Dul Arnowo kepada Anderson bilang ”tertembak”, maka pada tahun 1973  Ruslan Abdulgani sudah menggunakan kalimat ”...tapi dari pihak kita pun ada yang menembak ke arah mobil tersebut...”

Dan 32 tahun setelah tewasnya Mallaby, di majalah Tempo tahun 1977 seorang pelukis karikaturis Indonesia yang terkenal namanya, Ook Hendronota, mengaku bahwa dialah yang telah menembak Brigadir Jendral Mallaby di mobilnya.

Dengan demikian jelaslah sudah, bahwa tewasnya Jendral Inggris di Jembatan Merah dulu itu memang benar di bunuh oleh pemuda Indonesia, dan penembaknya Ook Hendronoto.

Meskipun sudah diumukan di media massa demikian, namun dalam buku-buku sejarah yang menceritakan  terbunuhnya Mallaby, nama Ook Hendronoto tetap tidak dicantumkan. Pengakuannya itu belum secara resmi dibenarkan oleh penulis-penulis buku sejarah.

”BETUL, OOK PEMBUNUHNYA!”
Seorang laki-laki bernama R. P. Supeno Judowijoyo, baru-baru ini menyampaikan naskah tulisannya tertanggal Surabaya 10 Nopember 1981 kepada Panitia Penulisan Sejarah Kepahlawanan 10 Nopember 1945 di Surabaya. Dalam naskah itu ia menceritakan bahwa ketika terjadi pertempuran 30 Oktober 1945 di depan Internatio, ia juga berada di situ. Ia menjadi anggota TKR Sambongan  pimpinan Abisiswondo. Ketika Kapten Shaw dan Mohmmad berangkat menuju gedung, Supeno yang menyebut dirinya Sawunggaling itu juga ingin bersama mereka. Tetapi ditegur oleh Sungkono, ketua BKR Kota Surabaya,”Engkau tentara,  mengapa ikut-ikutan kesana?” Supeno tidak melanjutkan niatnya, dan berada di dekat Sungkono.

Ketika terdengar tembakan dari gedung  yang selanjutnya terjadi pertempuran, Sungkono dan Supeno segera menyelamatkan diri dengan bersembunyi di bawah kolong mobil yang berada di belakangnya mobil Mallaby. Sedang galaknya pertempuran, ada dua orang pemuda datang ke tempat mereka. Seorang menggapai kaki Sipeno, melaporkan bahwa di mobil depan ada Jendral Inggris. Bagaimana kalau di bunuh saja? Laporan itu diteruskan kepada Sungkono. Dan Sungkono menjawab , ”Kalau berani...!”. mendapat jawaban itu, pemuda tadi pergi. Lalu terdengar bunyi tembakan  dan ledakan granat. Sebentar kemudian pemuda tadi kembali  ke tempat Supeno, melaporkan bahwa ia telah menembak Jendral Inggris di mobil depan. Pemuda tadi pun pergilah.

Setelah peristiwa itu Supeno  tidak pernah bertemu atau kenal dengan pemuda yang membunuh Mallaby tadi.

Baru ketika di majalah Tempo dimuat pengkuan Ook Hendronoto, Supeno ingin mengetes apakah betul Ook pemuda yang menggapai kakinya  sewaktu dia di kolong mobil. Supeno sengaja pergi ke rumah Ook. Dan Ook pun bercerita. Ook juga menceritakan tentang minta restunya Sungkono di kolong mobil  sebelum menembak Mallaby. Dengan demikian yakinlah Supeno bahwa Ook lah pemuda yang menggapai kakinya. Ooklah yang menembak mati Mallaby. Tulis Supeno dalam naskahnya, ”...yang mengetahui betul-betul peristiwa pembunuhan Brigadir Mallaby hanya tiga orang saja, yakni Supeno, Ook Hendronoto almarhum,  dan Sungkono (Mayor Jendral ) almarhum”.

Patut dicatat, bahwa dalam buku, ”Pertempuran Surabaya” tulisan Nugroho Notosusanto, terbit tahun 1984, pada halaman 71, yang berada di kolong mobil bersama Sungkono dukan Supeno dari TKR Sambongan, melainkan Subiyantoro anggota BKR pelajar (hasil wawancara dengan Sungkono). Sedang pada buku ”Seratus Hari di Surabaya” Ruslan Abdulgani belum pernah meralat tulisan ini. Jadi Sungkono tidak di kolong mobil, melainkan ikut meloncat ke Kalimas.

SAKSI LAIN
Pada hari libur 1 Muharram 1406 H atau Senin 16 September 1985 pagi, penulis mendapat telepon dari seorang bernama Amak Altuwy berumah di Ketintang Surabaya. Ia kenal nama penulis dari surat kabar yang memberitakan bahwa penulis mendapat tugas untuk menulis buku Sejarah Kepahlawanan 10 November 1945 di Surabaya.  Sebagai seorang pelaku pejuang saat itu, Amak ingin menceritakan pengalamannya kepada penulis. Penulis mempersilakan dia datang ke rumah penulis. Sore harinya Amak datang bercerita.

Amak berada di sekitar Jembatan merah ketika pertempuran bersejarah itu berlangsung.  Pada ketika itu ia baru berumur 18 tahun, dan menjadi anggota PRI Utara yang bermarkas di rumah  Baswedan  di Kampemenstraat 212 (sekarang JL. H M as Mansyur). Ia ikut-ikutan berada di lapangan depan Internatio. Tidak kenal pemimpin Indonesia siapa saja  yang berada di situ. Ia cuma kenal beberapa serdadu Inggris dari pakaiannya,  dan seorang India berpakaian serba putih (T. D. Kundan). Tentu saja ia juga kenal dengan teman-temannya  yang berada di situ, dan kenal juga tetangga-tetangganya.

Cerita Amak yang paling penting adalah pada waktu mobil Mallaby  dihentikan dan Mallaby ditembak, ia berada di dekat situ. Waktu itu hari mulai rabun, tapi Amak kenal siapa yang menembak Mallaby, karena tidak lain adalah tetangganya sekampung, H. Abdul Azis. Amak tahu H Azis menembakkan dengan vickersnya  dari jarak dekat.  Menggunakan vickers,  karena Amak sebagai remaja ingin sekali  memiliki senjata seampuh itu, sedang miliknya sendiri cuma Colt. Karena itu Amak ingat benar peristiwa itu. H Azis adalah anggota TKR Sambongan.

”Kalau tidak salah orangnya masih hidup dan menempati rumahnya yang dulu juga,” ujar Amak. Lalu ia pinjam telepon, menghubungi bekas tetangganya, dan menanyakan apakah H Azis masih berada di tempat tinggalnya yang dulu. Teman itu menjawab ya, H. Azis masih di tempatnya yang dulu.

Amak menganjurkan agar penulis menemui H Azis di rumahnya, untuk membuktikan bahwa kisahnya tidak bohong. ”Bagaimana kalau kita sekarang kesana?” penulis menantang. Dan Amak tidak menolak untuk mengantarkan.

Hari sudah malam ketika kami berangkat ke Surabaya Utara. Kami pergoki H. Azis  sedang berada di tepi jalan ramai dekat gang rumahnya. Amak bersalaman dan mengingatkan bahwa dia dulu tetangga di situ, tetapi sekarang sudah pindah ke Surabaya Selatan. Lalu mengenalkan H Azis dengan penulis yang ingin tahu kisah-kisah perjugangan H. Azis.

”Tidak! Saya tidak tahu apa-apa tentang perjuangan!” ujarnya dengan logat Madura.

Amak penasaran, ia mencoba mengingatkan peristiwa yang ia saksikan, tetapi H. Azis tetap tidak mengaku bahwa dirinya ikut berjuang. Dan ia cepat-cepat ingin menghindar. Amak kelihatan tersipu-sipu.

MENGAPA DUL ARNOWO DIAM?
Lalu lintas masih ramai sehingga menyulitkan H. Azis menyeberangi jalan. Penulis bertanya kepada H. Azis, apakah ia kenal Komandan TKR Sambongan Abisiswondo? Bukankah H. Azis masih ingat keadaan  TKR Sambongan waktu itu?

”O, kenal saya sama Abisiswondo dan adiknya, Abisiswadi, dan Ismak. Saya ikut mendirikan TKR Sambongan, merebut senjata dari tangsi Jepang, mencarikan senjata. Saya keluar biaya 250.000 rupiah dulu. Banyak perjuanganku untuk perjuangan. Tapi apa sekarang imbalannya? Tidak ada sama sekali. Saya hidup mondok sama istri begini, anak-anak terlantar di desa! Anak saya sekarang jadi kuli di Junggo dekat Selekta, tidak sekolah. Saya tidak punya pekerjaan, mengusulkan pensiun tentara ditolak!” bicaranya tambah lama tambah beremosi.

”Apa pernah coba mengajukan pensiun?” potong penulis.

”Pernah. Urus sana, urus sini, tunggu-tunggu dikembalikan. Ditolak!”

”Ada berkasnya! Dapat saya melihatnya?”

”Ada berkasnya! Mari saya tunjukkan di rumah!”

Dan kami menyeberang jalan, dibawa ke rumahnya, masuk gang. Di rumah itu kepada penulis diperlihatkan berkas usulannya mengajukan permohonan pensiun, lengkap dengan saksi-saksinya  yang antara lain seseorang yang sekarang masih memegang jabatan di Kantor Gubernur Jawa Timur Surabaya.

Akhirnya H Azis bercerita tentang perjuangan. Dulu masuk berjuang itu gampang. Bisa baca sedikit-sedikit, punya keberanian, dan orang bisa masuk tentara. Ketika bertempur di Internatio, ia menembak orang Inggris  di dalam mobil dengan Vickersnya. Orang Inggris itu mati, dan senjatanya diambil oleh Akhiyat. Akhiyat adalah pejuang yang terkenal dengan nama ”Alap-alap Simokerto”. Setelah menembak H Azis ikut menyelamatkan diri masuk ke Kalimas.  Di situ ia lapor sama Dul Arnowo, bahwa Jendral Inggrisnya sudah diberesi. Ia ikut Dul Arnowo keluar dari sungai di sebelah selatan Jembatan Merah, lalu pergi ke Hopbiro (kantor polisi). Dari sana dibawa dengan mobil oleh Dul Arnowo ke suatu rumah di Genteng Kali sebelah barat kabupaten. H. Azis sekali lagi di suruh menceritakan tentang peristiwa penembakan Jenderal Inggris itu. Selesai bercerita, Dul Arnowo  berkata, ”Sudah, sampai di sini saja. Jasamu besar sekali. Tapi sementara jangan menceritakan hal ini kepada siapa pun juga, ya?”

H. Azis melanjutkan berjuang di Tulungrejo dekat Selekta. Dan  sering pindah tempat menurut keadaan zaman. Ketika perang selesai, kedaulatan Republik Indonesia di akui Belanda, H Azis minta berhenti jadi tentara. Pangkat terakhir Letda Artileri di Nganjuk, bertanggal 27 Desember 1949.

Pada masa perjuangan H Azis pernah dipertemukan dengan Bung Karno di Blitar. Di situ oleh Dul Arnowo dan disaksikan banyak orang ia disuruh  bercerita mengenai penembakan Mallaby. Selesai bercerita , Bung Karno  memuji-mujinya. Dul Arnowo menepuk-nepuk punggungnya, seraya berkata,”Kau Arek Surabaya yang paling berjasa yang pantas diberi hadiah!”

Selesai perang, H Azis kembali ke rumah lama, rumah istrinya. Pada suatu malam rumah itu di gedor-gedor. Waktu itu suasana pemerintahan masih suasana Recomba, sehingga ancaman kepada orang Republik  mungkin saja. Dengan cemas H Azis  membuka pintu rumahnya. Ternyata yang datang Gubernur Jawa Timur Samadikun dan Walikota Surabaya Dul Arnowo dengan beberapa  orang lagi. Mereka berkunjung cuma hendak melihat apa H Azis sudah kembali ke Surabaya dengan selamat.

H Azis menceritakan betapa kecil hatinya waktu di gedor tadi, karena suasana  kota Surabaya  belum aman betul bagi orang-orang Republik. Untuk menenangkan hati H Azis, Gubernur Samadikun menyuruh pasang telepon di rumah itu, sehingga sewaktu-waktu  H Azis dapat menghubungi Gubernur kalau ada marabahaya. Dan betul juga pesawat telepon  dipasang di rumah H Azis atas perintah Gubernur.

Apabila cerita H Azis  benar semua, maka jelas bahwa Dul Arnowo sudah sejak semula  mengetahui siapa pembunuh Brigadir jendral A.W.S. Mallaby. Tetapi mengapa sampai akhir hayatnya  ia tidak mau  menyebutkan nama orang itu? Bahkan lebih jauh Dul Arnowo bisa menunjukkan orangnya, alamatnya. Mengapa? Apakah Dul Arnowo merasa khawatir akan keselamatan H. Azis  kalau pelaku ini di kemukakan? Dan apakah  kalau orang bisa menunjukkan siapa pembunuh Mallaby lalu membuat perjuangan arek-arek Surabaya luntur?

TULISAN SEJARAH

Akhirnya, hingga tewasnya Mallaby berlalu 40 tahun lamanya, siapa pembunuh Mallaby masih tidak jelas. Belum terungkapkan. Kasus ini sama dengan siapa perobek bendera di Oranje Hotel tanggal 19 September 1945, yang akhirnya diputuskan oleh DHD 45, bahwa yang menyobek bendera  Belanda itu Arek-arek Surabaya. Ketika suasana gawat karena pembunuhan  Mallaby dapat mencemarkan  nama bangsa, dapat dijadikan alasan bagi  Christison  untuk membalas dendam sehingga menimbulkan korban  yang  besar sekali  di pihak Indonesia, orang tidak ada yang berbicara siapa pembunuh Mallaby. Setelah kedaaan reda, pandangan tentang siapa pembunuh Mallaby beralih, si pembunuh bisa dianggap pahlawan, maka orang mulai mengaku atau mengakui siapa pahlawan itu.

Apa yang harus ditulis dalam sejarah?

Menghadapi hal seperti ini, penulis buku sejarah harus mempunyai kesadaran bahwa penulisan buku sejarah memiliki kebenaran pada zamannya dalam kurun waktu tertentu. Karena itu buku sejarah harus ditulis kembali setiap waktu, disesuaikan dengan zamannya dan ditambah dengan data baru.

Penulis menyadari bahwa dalam menulis buku Sejarah Kepahlawanan 1945 di Surabaya ini, selain yang telah ditulis  orang, masih banyak pengalaman para pelaku  perjuangan yang belum terekam dan dapat di jadikan nara sumber. Tapi dalam menerima kisah dari para pelaku tadi, penulis harus bisa menyaring benar tidaknya. Sebab seperti yang di isyaratkan oleh Ruslan Abdulgani, para pelaku ini juga mengalami penurunan daya ingatan, peningkatan penonjolan diri, dan munculnya pelaku fiktif.

Akhirnya masih terpulang juga pada siapa penulis, pembaca atau pengamat sejarah tersebut. Berpihak pada siapa, atau filsafat apa yang dimiliki oleh penulis dan pembaca sejarah. Misalnya keterangan R.C Smith, bagi orang Indonesia sulit di terima. Kalau benar  penembakan Mallaby dilakukan setelah pertempuran selesai,  tidak mungkin ada serdadu Inggris selamat berada di sekitar mobil Mallaby. Sebab di situ, menurut Amak Altuwy yang menunggui pertempuran itu hingga jauh malam, banyak sekali pejuang Indonesia yang masih ganas. Serdadu Inggris itu tentu mengalami sama dengan Mallaby kalau tampak berekelebat di situ. Kapten Shaw saja yang jelas jadi utusan Mallaby memerlukan di kawal Mohammad untuk menyeberangi lapangan, karena memang berbahaya untuk serdadu Inggris. Smith bisa selamat tentulah waktu tembakan baru mulai, sehingga gerakannya luput dari perhatian orang Indonesia.

Apa yang didengar R.C. Smith tentang perintah Mallaby agar pasukan Gurkha menyerah juga sulit diterima akal. Mungkinkah seorang perwira tinggi  Inggris memutuskan  anak buahnya menyerah, menuruti kemauan massa rakyat Indonesia? Padahal kedudukan pasukan Gurkha  di  Internatio sudah diatur dan disetujui pada perundingan tingkat tinggi antara Panglima Sekutu Mayor  Jendral D.C  Hawthorn (atasan Mallaby)  dengan Presiden Soekarno, perundingan yang justru baru saja disepakati lima jam yang lalu di Surabaya, disaksikan oleh Mallaby. Apakah Mallaby lupa akan makna dan amanah perundingan itu?

Demikianlah kisah detik-detik sejarah yang menentukan nasib dan geloranya bangsa Indonesia di Surabaya 40 tahun yang lalu. Sekarang kita bisa bilang bahwa memang nasib bahwa Mallaby harus tewas di Jembatan Merah, dan sarana peristiwa itu Indonesia memiliki Hari Pahlawan 10 November  yang patut di banggakan.