ALBUM PERJUANGAN
Profil Pejuang Sejati
Kaji Ajis
Endhog
Arek ‘Ampel’
Suroboyo
Pengakuan tanpa
emosional yang tulus yang pernah diungkapkan oleh H. Abdul Azis, terjadi pada
sekitar tahun 1970/1971 di rumah kontrakannya di Kayutangan (Jln. Jend. Basuki
Rahmat saat ini) Kota Malang.
Ketika itu
beliau di datangi tiga orang dari Dewan Harian Daerah (DHD) Angkatan 1945
Surabaya untuk mengadakan penelitian
dalam rangka penulisan sejarah perjuangan Arek-Arek Suroboyo, salah
satunya bernama Bapak Syifun. Melihat suasana pertemuannya yang penuh
canda dan nostalgia, sepertinya Pak Syifun ini memang sahabat akrab beliau yang
sudah lama tidak pernah berkomunikasi.
Pak Syifun
bertindak sebagai pewawancara, sedangkan lainnya sebagai pencatat. Dengan
metode pendekatan dialogis dan saling mengingatkan suatu peristiwa masa lalu, yang dialami bersama mapun
terpisah, dalam suasana yang mirip
kangen-kangenan tersebut membuat proses wawancara berlangsung lancer.
Salah satu
hasil wawancaranya adalah tentang siapa penembak Brigjend A.W.S. Mallaby itu,
yang kemudian diuji silang kepada Cak Dul Arnowo di kediamannya di Malang (Jln. Dempo ?).
Ketika itu Cak Dul Arnowo, dengan dialek khas Suroboyo-an menjawab sambil
memberi isyarat telunjuk yang ditujukan kepada H. Abdul Azis, “Lha
iki lak uwonge !” (Ini kan orangnya !).
Mengenai buku
memori perjuangan atas hasil wawncara tersebut, hingga saat ini tidak jelas
apakah pernah diterbitkan atau memang sengaja di hentikan, dengan pertimbangan
klasik demi untuk alasan kerahasiaan dan keamanan Negara dari tudingan
Negara-negara yang terlibat pertempuran di Surabaya itu.
Kepada penulis,
beliau memang sering mengungkapkan segala peristiwa yang dialami selama masa
perjuangan, diantaranya termasuk
peristiwa terbunuhnya Brigadir Jendral A.W.S. Mallaby tersebut.
Ketika penulis
menyampaikan adanya pengakuan dari orang
lain sebagaimana dimuat di majalah Tempo, beliau menganggap mereka itu tidak
mengerti dampak pengungkapan atas kejadian tersebut bagi Negara. Pada waktu
beliau menceritakan peristiwa tersebut
kepada penulis di tahun 1970, beliau punya anggapan bahwa bila pengungkapan kejadian
tersebut telah lewat dari 25 tahun, maka pelakunya bebas dari tuntutan. Entah
dari mana sumber hukumnya, yang jelas pengakuan beliau memang diungkapkan setelah 25 tahun, itu pun dalam keadaan
emosional.
Sekitar bulan
April 1989, H. Abdul Azis berkunjung ke Jakarta
menemui cucu keponakannya bernama H. Achmad Sjukry Suaidy Drs. Ec. Putera
dari KH. Mochammad Saleh Suaidy. Ulama sekaligus Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia yang dulu pernah dipercaya
sebagai Sekjend Departemen Agama di masa Presiden Soekarno. Beliau ini sering
ditunjuk sebagai Juru Nikah (Penghulu / Modin) Bapak Presiden Soekarno bila
menikah lagi setelah pernikahannya dengan Ibu Fatmawati. Kehadiran almarhum
sangat dihargai sebagai orang yang
dituakan dalam struktur keluarga di Bangkalan, Madura.
H. Achmad
Sjukry Suaidy sebagai eksekutif muda ia
memang terbilang orang super sibuk, maklumlah banyak jabatan yang harus
diurusi, termasuk sebagai salah seorang anggota Dewan Penasehat Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang dipimpin oleh Bapak Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie. Meskipun
demikian, sebagai rasa hormat kepada orang yang dituakan, ia pun rela
mengorbankan waktunya untuk menemani ‘Eyang Kakung’-nya selama di Jakarta. Ihwal penghargaan
pemerintah atas perjuangan yang pernah dialami oleh Eyangnya itu, tak luput
dari pertanyaan sang cucu. Almarhum lantas menceritakan segala pengalaman
pahitnya, termasuk usaha dari teman-teman Almarhum dalam menguruskan
penghargaan bagi dirinya kepada instansi terkait.
Mendengar
cerita tersebut, ia berusaha meredam emosi beliau dengan memberikan
penjelasan-penjelasan perihal hokum perang dan politik Negara. Tetapi H. Abdul
Azis merasa kurang puas mendapat penjelasan dari cucu keponakannya tersebut.
Untuk melegakan hati beliau, maka Sdr Sjukry menawarkan agar menemui langsung
pakar pejuang Kemerdekaan RI, Jendral Besar TNI/AD (Purn) Abdul Haris
Nasution.
Bersama Sdr.
Sjukry akhirnya niat berjumpa Jendral Besar (Purn.) A.H. Nasution
(Pak Nas) terpenuhi. Perihal pengalaman pribadi di masa perjuangan
beliau, termasuk peristiwa tragedy tertembaknya Brigjend A.W.S. Mallaby di
Jembatan Merah Surabaya,
semuanya diungkapkan secara tuntas. Lantas Pak Nas memberikan wejangan moral
dan penjelasan pangjang lebar mengenai hokum perang yang pernah diutarakan cucu
keponakannya itu. Pak Nas juga
menyampaikan bahwa teman beliau, sopir dari
Brigjend TNI (Purn.) H. Isa Idris yang juga seorang pejuang tidak pernah
mendapatkan pensiun / tidak diakui sebagai veteran pejuang oleh pemerintah RI.
Setelah mendengar penjelasan Pak Nas, H Abdul Azis mengaku merasa puas dan
jiwanya merasa lebih tenang.
Ibu Sumarni,
istri beliau, menambahkan bahwa Pak Nas sangat menyayangkan keputusan H.
Abdul Azis yang telah membakar habis semua dokumen-dokumen penting miliknya.
Konon Almarhum menyadari dan sangat
menyesali kekeliruan atas tindakan pembakaran dokumen tersebut. Dan penyesalan
itu, memang timbul setelah mendapatkan
bimbingan moral dari Pak Nas.
Barangkali
dokumentasi yang masih tersisa saat ini masih dapat dilihat dalam film
dokumenter produksi PFN (Perusahaan Film Negara), yaitu film rekonstruksi sejarah pertempuran 10 november 1945 di
Surabaya. Dalam film tersebut H. Abdul Azis muda berperan sebagai seorang pemuda pejuang yang sedang
santai bermain catur bersama pemuda lainnya, dan ketika tiba-tiba mendapat panggilan perang, segera mereka
berhamburan menuju medan
laga. Biasanya TVRI Stasiun Pusat menayangkan film documenter ini pada hari
besar nasional Hari Pahlawan, setiap
tanggal 10 November.
Kondisi ekonomi
H. Abdul Azis memang tak pernah berubah, hingga kedua puteranya berhasil lulus
SMA di Batu. Beliau memilih tetap bertahan di dusun Junggo desa Tulungrejo Kota
Batu bersama istrinya yang dengan setia menemaninya hingga akhir hayatnya pada tanggal 16
Juni 1989. Almarhum H. Abdul Azis meninggal dunia setelah mengalami sedikit
gangguan kesehatan.
Perlu
diketahui, meskipun usia H. Abdul Azis tergolong kelompok ‘lanjut usia’, namun
kondisi beliau tetap tegar dan sama sekali tidak mengalami pikun. Kecuali keriput dahi, raut
wajahnya yang sebenarnya sudah keriput karena tua, menjadi tampak lebih
muda lantaran menggunakan gigi palsu
yang dipasang sejak tahun 1960-an. Warna rambutnya terkadang mendua, lantaran
polesan semir rambut. Perawakannya masih tetap kekar, tak susut karena usia
tua. Bahkan pada usianya yang senja itu, beliau masih sering mondar-mandir ke Surabaya atau ke Jakarta
bersilahturrahmi kepada sanak keluarganya.
Beliau
dimakamkan di kramat resmi Dusun Junggo Desa Tulungrejo Kota Batu dengan
diantar putera dan kerabat keluarga dari pihak istrinya. Upacara pemakaman berlangsung
sangat sederhana, tapi khidmat sesuai syari’at Islam. Tak
ada pembacaan riwayat hidup dan jasa perjuangan, kecuali bacaan talqin dan
tahlil. Tak ada suara tembakan salvo atau iringan genderang dan terompet
kebesaran militer, kecuali sesengukan isak tangis keikhlasan istri
dan putera-puteri yang ditinggalkan.
Ketika jasadnya diturunkan ke liang lahat, tak ada naungan bendera Sang Saka Merah
Putih yang dulu pernah dibanggakan dan dipertahankannya mati-matian,
kecuali selembar kain batik usang milik istrinya. Tak diperlukan inspektur
upacara dengan tetek bengek tata
protokolernya, cukup dengan komando dan kumandang do’a yang dipimpin seorang
moden desa yang sudah renta.
Innalillahi wa
inna illaihi roji’un ! Selamat Jalan Sang Pejuang Sejati, di pangkuang
ibu pertiwi dan di hadapan Allah Swt,
engkau adalah syuhada yang sangat berjasa bagi bangsa dan Negara. Insya Allah
nikmat dan ketenangan yang sejati, senantiasa terlimpah di sisi Allah Yang
Maha Mengetahui Segalanya ! Amin !.
Surabaya, 17 Agustus
1995
Mochammad
Chotib