Selasa, 04 November 2014

Biografi Kaji Ajis Penembak Brigjend AWS Mallaby (3)

ALBUM PERJUANGAN
Profil Pejuang Sejati
Kaji Ajis Endhog
Arek ‘Ampel’ Suroboyo



Pengakuan tanpa emosional yang tulus yang pernah diungkapkan oleh H. Abdul Azis, terjadi pada sekitar tahun 1970/1971 di rumah kontrakannya di Kayutangan (Jln. Jend. Basuki Rahmat saat ini) Kota Malang.

Ketika itu beliau di datangi tiga orang dari Dewan Harian Daerah (DHD) Angkatan 1945 Surabaya untuk mengadakan penelitian  dalam rangka penulisan sejarah perjuangan Arek-Arek Suroboyo, salah satunya bernama Bapak Syifun. Melihat suasana pertemuannya yang penuh canda dan nostalgia, sepertinya Pak Syifun ini memang sahabat akrab beliau yang sudah lama tidak pernah berkomunikasi.

Pak Syifun bertindak sebagai pewawancara, sedangkan lainnya sebagai pencatat. Dengan metode pendekatan dialogis dan saling mengingatkan suatu peristiwa  masa lalu, yang dialami bersama mapun terpisah, dalam suasana yang mirip  kangen-kangenan tersebut membuat proses wawancara berlangsung lancer.

Salah satu hasil wawancaranya adalah tentang siapa penembak Brigjend A.W.S. Mallaby itu, yang kemudian diuji silang kepada Cak Dul Arnowo di kediamannya di Malang (Jln. Dempo ?). Ketika itu Cak Dul Arnowo, dengan dialek khas Suroboyo-an menjawab sambil memberi isyarat telunjuk yang ditujukan kepada H. Abdul Azis, “Lha iki lak uwonge !”  (Ini kan orangnya !).

Mengenai buku memori perjuangan atas hasil wawncara tersebut, hingga saat ini tidak jelas apakah pernah diterbitkan atau memang sengaja di hentikan, dengan pertimbangan klasik demi untuk alasan kerahasiaan dan keamanan Negara dari tudingan Negara-negara yang terlibat pertempuran di Surabaya itu.

Kepada penulis, beliau memang sering mengungkapkan segala peristiwa yang dialami selama masa perjuangan, diantaranya termasuk  peristiwa terbunuhnya Brigadir Jendral A.W.S. Mallaby tersebut.

Ketika penulis menyampaikan  adanya pengakuan dari orang lain sebagaimana dimuat di majalah Tempo, beliau menganggap mereka itu tidak mengerti dampak pengungkapan atas kejadian tersebut bagi Negara. Pada waktu beliau menceritakan  peristiwa tersebut kepada penulis di tahun 1970, beliau punya anggapan bahwa bila pengungkapan kejadian tersebut telah lewat dari 25 tahun, maka pelakunya bebas dari tuntutan. Entah dari mana sumber hukumnya, yang jelas pengakuan beliau memang diungkapkan  setelah 25 tahun, itu pun dalam keadaan emosional.


Sekitar bulan April 1989, H. Abdul Azis berkunjung ke Jakarta menemui cucu keponakannya bernama  H. Achmad Sjukry Suaidy Drs. Ec. Putera dari KH. Mochammad Saleh Suaidy. Ulama sekaligus Perintis Kemerdekaan  Republik Indonesia yang dulu pernah dipercaya sebagai Sekjend Departemen Agama di masa  Presiden Soekarno. Beliau ini sering ditunjuk sebagai Juru Nikah (Penghulu / Modin) Bapak Presiden Soekarno bila menikah lagi setelah pernikahannya dengan Ibu Fatmawati. Kehadiran almarhum sangat dihargai  sebagai orang yang dituakan dalam struktur keluarga di Bangkalan, Madura.


H. Achmad Sjukry Suaidy  sebagai eksekutif muda ia memang terbilang orang super sibuk, maklumlah banyak jabatan yang harus diurusi, termasuk sebagai salah seorang anggota Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang dipimpin  oleh Bapak Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie. Meskipun demikian, sebagai rasa hormat kepada orang yang dituakan, ia pun rela mengorbankan waktunya untuk menemani ‘Eyang Kakung’-nya selama di Jakarta. Ihwal penghargaan pemerintah atas perjuangan yang pernah dialami oleh Eyangnya itu, tak luput dari pertanyaan sang cucu. Almarhum lantas menceritakan segala pengalaman pahitnya, termasuk usaha dari teman-teman Almarhum dalam menguruskan penghargaan bagi dirinya kepada instansi terkait.

Mendengar cerita tersebut, ia berusaha meredam emosi beliau dengan memberikan penjelasan-penjelasan perihal hokum perang dan politik Negara. Tetapi H. Abdul Azis merasa kurang puas mendapat penjelasan dari cucu keponakannya tersebut. Untuk melegakan hati beliau, maka Sdr Sjukry menawarkan agar menemui langsung pakar pejuang Kemerdekaan RI, Jendral Besar TNI/AD (Purn) Abdul Haris Nasution.

Bersama Sdr. Sjukry akhirnya niat berjumpa Jendral Besar (Purn.) A.H. Nasution (Pak Nas) terpenuhi. Perihal pengalaman pribadi di masa perjuangan beliau, termasuk peristiwa tragedy tertembaknya Brigjend A.W.S. Mallaby di Jembatan Merah Surabaya, semuanya diungkapkan secara tuntas. Lantas Pak Nas memberikan wejangan moral dan penjelasan pangjang lebar mengenai hokum perang yang pernah diutarakan cucu keponakannya itu.  Pak Nas juga menyampaikan bahwa teman beliau, sopir dari  Brigjend TNI (Purn.) H. Isa Idris yang juga seorang pejuang tidak pernah mendapatkan pensiun / tidak diakui sebagai veteran pejuang oleh pemerintah RI. Setelah mendengar penjelasan Pak Nas, H Abdul Azis mengaku merasa puas dan jiwanya merasa lebih tenang.

Ibu Sumarni, istri beliau, menambahkan bahwa Pak Nas sangat menyayangkan keputusan H. Abdul Azis yang telah membakar habis semua dokumen-dokumen penting miliknya. Konon Almarhum menyadari  dan sangat menyesali kekeliruan atas tindakan pembakaran dokumen tersebut. Dan penyesalan itu, memang timbul  setelah mendapatkan bimbingan moral dari Pak Nas.

Barangkali dokumentasi yang masih tersisa saat ini masih dapat dilihat dalam film dokumenter produksi PFN (Perusahaan Film Negara), yaitu film rekonstruksi  sejarah pertempuran 10 november 1945 di Surabaya. Dalam film tersebut H. Abdul Azis muda berperan  sebagai seorang pemuda pejuang yang sedang santai bermain catur bersama pemuda lainnya, dan ketika tiba-tiba  mendapat panggilan perang, segera mereka berhamburan menuju medan laga. Biasanya TVRI Stasiun Pusat menayangkan film documenter ini pada hari besar nasional  Hari Pahlawan, setiap tanggal 10 November.

Kondisi ekonomi H. Abdul Azis memang tak pernah berubah, hingga kedua puteranya berhasil lulus SMA di Batu. Beliau memilih tetap bertahan di dusun Junggo desa Tulungrejo Kota Batu bersama istrinya yang dengan setia menemaninya hingga akhir hayatnya pada tanggal 16 Juni 1989. Almarhum H. Abdul Azis meninggal dunia setelah mengalami sedikit gangguan kesehatan.

Perlu diketahui, meskipun usia H. Abdul Azis tergolong kelompok ‘lanjut usia’, namun kondisi beliau tetap tegar dan sama sekali tidak  mengalami pikun. Kecuali keriput dahi, raut wajahnya yang sebenarnya sudah keriput karena tua, menjadi tampak lebih muda  lantaran menggunakan gigi palsu yang dipasang sejak tahun 1960-an. Warna rambutnya terkadang mendua, lantaran polesan semir rambut. Perawakannya masih tetap kekar, tak susut karena usia tua. Bahkan pada usianya yang senja itu, beliau masih sering mondar-mandir ke Surabaya atau ke Jakarta bersilahturrahmi kepada sanak keluarganya.

Beliau dimakamkan di kramat resmi Dusun Junggo Desa Tulungrejo Kota Batu dengan diantar putera dan kerabat keluarga dari pihak istrinya. Upacara pemakaman berlangsung sangat sederhana, tapi khidmat sesuai syari’at Islam. Tak ada pembacaan riwayat hidup dan jasa perjuangan, kecuali bacaan talqin dan tahlil. Tak ada suara tembakan salvo atau iringan genderang dan terompet kebesaran militer, kecuali sesengukan isak tangis keikhlasan istri dan  putera-puteri yang ditinggalkan. Ketika jasadnya diturunkan ke liang lahat, tak ada naungan bendera Sang Saka Merah Putih yang dulu pernah dibanggakan dan dipertahankannya mati-matian, kecuali selembar kain batik usang milik istrinya. Tak diperlukan inspektur upacara dengan tetek bengek  tata protokolernya, cukup dengan komando dan kumandang do’a yang dipimpin seorang moden desa yang sudah renta.

Innalillahi wa inna illaihi roji’un ! Selamat Jalan Sang Pejuang Sejati, di pangkuang ibu pertiwi dan di hadapan Allah  Swt, engkau adalah syuhada yang sangat berjasa bagi bangsa dan Negara. Insya Allah nikmat dan ketenangan yang sejati, senantiasa terlimpah di sisi Allah Yang Maha  Mengetahui Segalanya !  Amin !.



Surabaya, 17 Agustus 1995




Mochammad Chotib      







Tidak ada komentar:

Posting Komentar