Selasa, 04 November 2014

Biografi Kaji Ajis Penembak Brigjend AWS Mallaby (2)



ALBUM PERJUANGAN

Profil Pejuang Sejati
Kaji Ajis Endhog
Arek ‘Ampel’ Suroboyo



Tak hanya fisik dan nyawa yang dipertaruhkan, tapi beliau dan istrinya juga dengan ikhlas mengorbankan harta bendanya sekaligus untuk revolusi!. Selain pakaian dan bahan makanan, beliau serahkan sejumlah uang ORI (Oeang Repoeblik  Indonesia) kepada para pemimpin pejuang Surabaya untuk keperluan perjuangan, antara lain untuk mendirikan TKR Sambongan.

Sebagai bukti atas penyerahan uang tersebut, selang beberapa tahun kemudian beliau menerima selembar surat dalam bentuk Promes Negara Tahun 1949, Hutang Negara Departemen Keuangan RI bernomor 236422/28/I/KPN, diterbitkan di Jakarta pada Mei 1961. Itulah salah satu sebab beliau cukup dikenal oleh para pemimpin pejuang seperti Cak Doel Arnowo, Soengkono dan tokoh lainnya.

Pada tanggal 12 September 1961, Promes Negara Tahun 1949 tersebut dikuasakan kepada istrinya, Hajjah Siti Mariyam, dan pernah diangsur Negara lewat BRI Cabang Kaliasin. Sayangnya di sekitar tahun 1963-an, angsuran tersebut tak pernah mengalir lagi, lantaran surat promesnya yang asli dihilangkan oleh orang yang dipercaya  untuk mengurusnya.

Setelah kemerdekaan, beliau aktif di perkumpulan Poetera Soerabaya (POESOERA) sebagai anggota biasa.  Beliau juga bergabung dalam organisasi Front Anti Komunis (FAK) pimpinan Hasan Aidid. Memilih mundur sebagai anggota Angkatan Darat dengan pangkat terakhir Letnan Dua Artileri, tetapi beliau tidak tertarik untuk mendaftar pada barisan Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI).

Sebagai pejuang sejati, beliau sangat berang pada para veteran muda yang sehari-hari mengenakan baju hijau lengkap dengan segala atributnya dan bergaya sok pejuang. Menurutnya, veteran itu masih anak-anak pada waktu revolusi bahkan mungkin memang tak pernah ikut berjuang, dalam istilah beliau “veteran palsu!”.

Apalagi di sekitar tahun 1967  atau 1968, orang-orang yang berseragam veteran itu diberi pekerjaan sebagai tukang parker di jalan-jalan utama pusat perbelanjaan  sekitar wilayah Jalan Tunjungan. Di mata beliau pekerjaan itu merupakan  penghargaan yang sangat tidak layak . inikah penghargaan yang diberikan kepada bekas para pejuang?.

Penggunaan istilah ‘pahlawan’ tak luput dari pandangan beliau. Menurutnya kurang pantas, jika istilah tersebut digunakan pada orang-orang yang bukan gugur karena berjuang mempertahankan dan membela bangsa dan Negara. Misalnya, pemberian anugerah pahlawan bagi olahragawan.

Terlepas dari tujuan strategis suatu organisasi, beliau mempunyai pandangan ketidak setujuan  terhadap kerancuan penggunaan pangkat militer, yang dikaitkan dengan kepemimpinan dalam bidang-bidang kegiatan di luar kemiliteran. Misalnya saja, suatu organisasi olah raga atau kesenian yang dipimpin oleh seorang Jendral. Penonjolan atribut Jendralnya yang beliau tak setuju.

 Pada tahun 1961 atau 1962, perkawinan H. Abdul Azis dengan Hj. Siti Mariyam mengalami perceraian. Sejak itu beliau hijrah dari Kampung Ampel ke desa Pesanggrahan  di Kota Batu. Di kota ini, oleh teman seperjuangannya bernama Juber (dulu tinggal di JL. Jambi Surabaya), beliau dijodohkan dengan seorang janda polisi, Ibu Sumarni (usia 23 tahun) alias Ibu Chasanah (foto di masa tuanya), yang kemudian dikaruniai  dua orang Putera bernama Akhmad Effendi dan Arif Erwinadi serta seorang puteri yang bernama Amelia Ersita.
  
Dari kota Batu pindah ke JL. Kasembon Malang dan pindah lagi ke rumah kontrakan di Kayutangan  Gang VIII  ( sekarang Jl. Jend. Basuki Rahmat) di kota yang sama. Kondisi ekonomi keluarga H. Abdul Azis di kota ini semakin menurun saja, maklum lingkup pasar  dagangan batu mulia  yang digelutinya, dan satu-satunya pokok mata pencaharian  beliau tak sebesar di Surabaya.

Baginya kota Malang sepertinya lebih cocok untuk para pensiunan yang ingin menghabiskan sisa tuanya. Karena alasan itulah, beliau lebih suka tinggal di kampong Ampel Surabaya, di rumah mantan istri atau keluarga yang lainnya. Meski telah bercerai, hubungan antara keluarga barunya di Batu  dan keluarga mantan istrinya di Surabaya, tetap berlangsung dengan sangat baik.

Demikian parah kondisi ekonominya, sehingga pada waktu beliau menderita suatu penyakit Hernia yang mengharuskan ia menjalani operasi, beliau tak lagi sanggup membiayai dirinya. Untunglah masih ada teman perjuangan dulu yang kini menjadi pengusaha sukses, Bapak Wirontono (saat itu pemilik Elmi Hotel Surabaya) peduli dengan kondisi beliau dan selanjutnya menutup seluruh pembiayaan operasinya. Istri beliau juga menyebut nama Dr. H. Faruk Bakrie adik dari Bapak Wirontono.

Karena alasan ekonomi, pada tahun 1973 beliau selanjutnya pulang kampung ke dusun Junggo Desa Tulungrejo, delapan kilometer dari kota Batu. Desa asal Ibu Sumarni  dilahirkan. Kondisi rumah tangganya memang cukup memprihatinkan. Ketika itu putera-puterinya masih kecil. Akhmad Effendi putra tertuanya saat itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

(Foto, saat H. Abd Azis sakit hernia dan pulang kampung halaman istrinya)
 
Sementara itu, tiba-tiba datang angin surga dari teman-teman seperjuangan yang ingin membantu beliau untuk mendapatkan  pensiun sebagai veteran pejuang. Berbekal sisa-sisa dokumen yang dimilikinya, beliau menurut saja anjuran teman-temannya. Semua prosedur pengurusan telah dilaluinya, entah di instansi apa, khabarnya di Bandung dan Jakarta. Hasilnya nol besar!.

Kecewa berat rupanya sangat membekas di jiwanya. Betapa tidak ? Dirinya yang pejuang sejati dan berjuang dengan jiwa, raga serta segala harta bendanya, sepertinya dipalingkan begitu saja oleh oknum-oknum bangsa yang tak pernah berjuang tetapi ikut menikmati hasil perjuangan di alam kemerdekaan ini.

Kemarahan ini pernah di ungkapkan langsung kepada seorang perwira muda (lulusan akademis), pada waktu beliau mengikuti wawancara seleksi para veteran perang di Surabaya. Mungkin beliau tersinggungatas pertanyaan-pertanyaan kaku bersifat interogatif yang cukup ruwet  dan mempunyai kesan sok tahu mengenai perjuangan. Menurut beliau, perwira muda tersebut justru tidak pernah ikut berjuang dalam revolusi kemerdekaan.

Pada saat itu memang pemerintah sedang mencurigai adanya manipulasi data veteran, sehingga keuangan Negara dirugikan oleh orang-orang yang tidak berhak mendapat pensiun veteran. “Veteran-veteran palsu !” , persis seperti yang pernah dicurigainya dulu!. Kini predikat itu justru dituduhkan kepada dirinya. Ah, betapa sakitnya hati beliau.

Sementara H. Abdul Azis berusaha melupakan semua itu, pada tahun 1985 muncul Sdr. Amak Altuwy berusaha menemui beliau di Kampung Ampel. Dia memperkenalkan dirinya bahwa dulu pernah menjadi tetangga kampong. Sdr Amak pada waktu perjuangan dulu secara diam-diam sangat mengagumi H. Abdul Azis. Tetapi begitu pembicaraan  masuk ke masalah perjuangan, beliau langsung menolak mengaku sebagai pejuang.

Untuk menebus rasa penasaran dan sekaligus keinginan meluruskan kebenaran sejarah terhadap polemik-polemik mengenai siapa pembunuh Brigadir Jendral A.W.S Mallaby pada saat itu, Sdr. Amak Altuwy mengungkapkan kesaksiannya di harian Surabaya Post (tanggal 5 November 1985), yang berkelanjutan dengan tulisan Sdr. Suparto Brata di surat khabar yang sama  (tanggal 6 November 1985). Menyusul kemudian dengan dimuatnya  hasil wawancara wartawan Buana  Minggu (tanggal 22 Desember 1985).

Penulis menilai ketiga tulisan  yang diungkapakan dalam surat khabar tersebut sangat obyektif. Yang perlu digaris  bawahi dalam tulisan tersebut adalah bahwa H. Abdul Azis, Sang Pejuang Sejati, sangat konsisten terhadap janji kepada para pemimpinnya untuk sepakat tidak membocorkan rahasia Negara mengenai apa yang pernah beliau lakukan berkenaan dengan peristiwa tebunuhnya  Brigjend Mallaby!. Setidaknya dapat dibuktikan hingga 40 tahun lamanya, rahasia ini tersimpan dengan baik.

Adapun bila terjadi pengungkapan oleh beliau di media cetak, hal itu tak lebih di karenakan kebolehan metode investiagsi yang diterapkan wartawan atau pewawancara  dalam mendapatkan suatu berita  dari nara sumbernya !. Ungkapan pengakuan oleh beliau, itupun diperoleh setelah wartawan atau pewawancara berhasil memancing  ledakan emosional dari nara sumbernya.

Jadi, apabila sebelumnya pernah diungkapkan oleh orang lain yang mengaku sebagai pelaku penembak Brigjend. A.W.S. Mallaby, itu adalah upaya   publikasi diri dari orang yang bersangkutan. Itu sah-sah saja. Tetapi tidak demikian halnya dengan H. Abdul Azis, Sang Pejuang Sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar