ALBUM PERJUANGAN
Profil Pejuang Sejati
Kaji Ajis
Endhog
Arek ‘Ampel’
Suroboyo
Tak hanya fisik
dan nyawa yang dipertaruhkan, tapi beliau dan istrinya juga dengan ikhlas
mengorbankan harta bendanya sekaligus untuk revolusi!. Selain pakaian dan bahan makanan,
beliau serahkan sejumlah uang ORI (Oeang Repoeblik Indonesia)
kepada para pemimpin pejuang Surabaya
untuk keperluan perjuangan, antara lain untuk mendirikan TKR Sambongan.
Sebagai bukti
atas penyerahan uang tersebut, selang beberapa tahun kemudian beliau menerima
selembar surat dalam bentuk Promes Negara Tahun 1949, Hutang
Negara Departemen Keuangan RI
bernomor 236422/28/I/KPN, diterbitkan di Jakarta
pada Mei 1961. Itulah salah satu sebab beliau cukup dikenal oleh para
pemimpin pejuang seperti Cak Doel Arnowo, Soengkono dan tokoh lainnya.
Pada tanggal 12
September 1961, Promes Negara Tahun 1949 tersebut dikuasakan kepada istrinya,
Hajjah Siti Mariyam, dan pernah diangsur Negara lewat BRI Cabang Kaliasin.
Sayangnya di sekitar tahun 1963-an, angsuran tersebut tak pernah mengalir lagi,
lantaran surat
promesnya yang asli dihilangkan oleh orang yang dipercaya untuk mengurusnya.
Setelah
kemerdekaan, beliau aktif di perkumpulan Poetera Soerabaya (POESOERA) sebagai
anggota biasa. Beliau juga bergabung
dalam organisasi Front Anti Komunis (FAK) pimpinan Hasan Aidid. Memilih mundur
sebagai anggota Angkatan Darat dengan pangkat terakhir Letnan Dua Artileri,
tetapi beliau tidak tertarik untuk mendaftar pada barisan Legiun Veteran
Republik Indonesia (LVRI).
Sebagai pejuang
sejati, beliau sangat berang pada para veteran muda yang sehari-hari mengenakan
baju hijau lengkap dengan segala atributnya dan bergaya sok pejuang. Menurutnya,
veteran itu masih anak-anak pada waktu revolusi bahkan mungkin memang tak
pernah ikut berjuang, dalam istilah beliau “veteran palsu!”.
Apalagi di
sekitar tahun 1967 atau 1968,
orang-orang yang berseragam veteran itu diberi pekerjaan sebagai tukang parker
di jalan-jalan utama pusat perbelanjaan
sekitar wilayah Jalan Tunjungan. Di mata beliau pekerjaan itu
merupakan penghargaan yang sangat tidak
layak . inikah penghargaan yang diberikan kepada bekas para pejuang?.
Penggunaan
istilah ‘pahlawan’ tak luput dari pandangan beliau. Menurutnya kurang pantas,
jika istilah tersebut digunakan pada orang-orang yang bukan gugur karena berjuang mempertahankan dan membela bangsa dan
Negara. Misalnya, pemberian anugerah pahlawan bagi olahragawan.
Terlepas dari
tujuan strategis suatu organisasi, beliau mempunyai pandangan ketidak
setujuan terhadap kerancuan penggunaan
pangkat militer, yang dikaitkan dengan kepemimpinan dalam bidang-bidang
kegiatan di luar kemiliteran. Misalnya saja, suatu organisasi olah raga atau
kesenian yang dipimpin oleh seorang Jendral. Penonjolan atribut Jendralnya yang
beliau tak setuju.
Pada tahun 1961 atau 1962, perkawinan H. Abdul
Azis dengan Hj. Siti Mariyam mengalami perceraian. Sejak itu beliau hijrah dari
Kampung Ampel ke desa Pesanggrahan di
Kota Batu. Di kota
ini, oleh teman seperjuangannya bernama Juber
(dulu tinggal di JL. Jambi Surabaya), beliau dijodohkan dengan seorang janda
polisi, Ibu Sumarni (usia 23 tahun) alias Ibu Chasanah (foto di masa tuanya), yang
kemudian dikaruniai dua orang Putera
bernama Akhmad Effendi dan Arif Erwinadi serta seorang puteri yang bernama
Amelia Ersita.
Dari
kota Batu pindah ke JL. Kasembon Malang dan pindah lagi ke rumah kontrakan di
Kayutangan Gang VIII ( sekarang Jl. Jend. Basuki Rahmat) di kota
yang sama. Kondisi ekonomi keluarga H. Abdul Azis di kota ini semakin menurun
saja, maklum lingkup pasar dagangan batu
mulia yang digelutinya, dan satu-satunya
pokok mata pencaharian beliau tak
sebesar di Surabaya.
Baginya
kota Malang sepertinya lebih cocok untuk para pensiunan yang ingin menghabiskan
sisa tuanya. Karena alasan itulah, beliau lebih suka tinggal di kampong Ampel
Surabaya, di rumah mantan istri atau keluarga yang lainnya. Meski telah bercerai,
hubungan antara keluarga barunya di Batu
dan keluarga mantan istrinya di Surabaya, tetap berlangsung dengan
sangat baik.
Demikian
parah kondisi ekonominya, sehingga pada waktu beliau menderita suatu penyakit
Hernia yang mengharuskan ia menjalani operasi, beliau tak lagi sanggup
membiayai dirinya. Untunglah masih ada teman perjuangan dulu yang kini menjadi
pengusaha sukses, Bapak Wirontono (saat itu pemilik Elmi Hotel Surabaya) peduli
dengan kondisi beliau dan selanjutnya menutup seluruh pembiayaan operasinya.
Istri beliau juga menyebut nama Dr. H. Faruk Bakrie adik dari Bapak Wirontono.
Karena
alasan ekonomi, pada tahun 1973 beliau selanjutnya pulang kampung ke dusun Junggo Desa
Tulungrejo, delapan kilometer dari kota Batu. Desa asal Ibu
Sumarni dilahirkan. Kondisi rumah
tangganya memang cukup memprihatinkan. Ketika itu putera-puterinya masih kecil.
Akhmad Effendi putra tertuanya saat itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
(Foto, saat H. Abd Azis sakit hernia dan pulang kampung halaman istrinya)
Sementara
itu, tiba-tiba
datang angin surga dari teman-teman seperjuangan yang ingin membantu beliau
untuk mendapatkan pensiun sebagai
veteran pejuang. Berbekal sisa-sisa dokumen yang dimilikinya, beliau
menurut saja anjuran teman-temannya. Semua prosedur pengurusan telah
dilaluinya, entah di instansi apa, khabarnya di Bandung dan Jakarta.
Hasilnya nol besar!.
Kecewa
berat rupanya sangat membekas di jiwanya. Betapa tidak ? Dirinya yang pejuang sejati dan berjuang dengan jiwa, raga serta segala
harta bendanya, sepertinya dipalingkan begitu saja oleh oknum-oknum bangsa yang
tak pernah berjuang tetapi ikut menikmati hasil perjuangan di alam kemerdekaan
ini.
Kemarahan ini
pernah di ungkapkan langsung kepada seorang perwira muda (lulusan akademis),
pada waktu beliau mengikuti wawancara seleksi para veteran perang di Surabaya.
Mungkin beliau tersinggungatas pertanyaan-pertanyaan kaku bersifat interogatif
yang cukup ruwet dan mempunyai kesan sok
tahu mengenai perjuangan. Menurut beliau, perwira muda tersebut justru tidak
pernah ikut berjuang dalam revolusi kemerdekaan.
Pada saat itu
memang pemerintah sedang mencurigai adanya manipulasi data veteran, sehingga
keuangan Negara dirugikan oleh orang-orang yang tidak berhak mendapat pensiun
veteran. “Veteran-veteran palsu !” , persis seperti yang pernah dicurigainya
dulu!. Kini predikat itu justru dituduhkan kepada dirinya. Ah, betapa sakitnya
hati beliau.
Sementara H.
Abdul Azis berusaha melupakan semua itu, pada tahun 1985 muncul Sdr.
Amak Altuwy berusaha menemui beliau di Kampung Ampel. Dia
memperkenalkan dirinya bahwa dulu pernah menjadi tetangga kampong. Sdr Amak
pada waktu perjuangan dulu secara diam-diam sangat mengagumi H. Abdul Azis.
Tetapi begitu pembicaraan masuk ke
masalah perjuangan, beliau langsung menolak mengaku sebagai pejuang.
Untuk menebus
rasa penasaran dan sekaligus keinginan meluruskan kebenaran sejarah terhadap
polemik-polemik mengenai siapa pembunuh Brigadir Jendral A.W.S Mallaby pada
saat itu, Sdr. Amak Altuwy mengungkapkan kesaksiannya di harian Surabaya
Post (tanggal 5 November 1985), yang berkelanjutan dengan tulisan Sdr.
Suparto Brata di surat khabar yang sama
(tanggal 6 November 1985). Menyusul kemudian dengan dimuatnya hasil wawancara wartawan Buana Minggu (tanggal 22 Desember 1985).
Penulis menilai
ketiga tulisan yang diungkapakan dalam surat khabar tersebut
sangat obyektif. Yang perlu digaris
bawahi dalam tulisan tersebut adalah bahwa H. Abdul Azis, Sang Pejuang
Sejati, sangat konsisten terhadap janji kepada para pemimpinnya untuk sepakat
tidak membocorkan rahasia Negara mengenai apa yang pernah beliau lakukan
berkenaan dengan peristiwa tebunuhnya
Brigjend Mallaby!. Setidaknya dapat dibuktikan hingga 40 tahun
lamanya, rahasia ini tersimpan dengan baik.
Adapun bila
terjadi pengungkapan oleh beliau di media cetak, hal itu tak lebih di karenakan
kebolehan metode investiagsi yang diterapkan wartawan atau pewawancara dalam mendapatkan suatu berita dari nara
sumbernya !. Ungkapan pengakuan oleh beliau, itupun diperoleh setelah wartawan
atau pewawancara berhasil memancing
ledakan emosional dari nara
sumbernya.
Jadi, apabila
sebelumnya pernah diungkapkan oleh orang lain yang mengaku sebagai pelaku
penembak Brigjend. A.W.S. Mallaby, itu adalah upaya publikasi diri dari orang yang bersangkutan.
Itu sah-sah saja. Tetapi tidak demikian halnya dengan H. Abdul Azis, Sang Pejuang
Sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar