Sabtu, 02 Agustus 2014

Saksi Mata : H. Abdul Azis Penembaknya



KLIPPING ALBUM PERJUANGAN
Surabaya Post, Jum’at 10 Nopember 1995
Menguak Misteri Tewasnya Mallaby
Saksi Mata    :  H. Abdul Azis Penembaknya
SETELAH 50 tahun, misteri siapa yang membunuh Mallaby kini ada tambahan titik terang meski banyak versi tentang terjadinya peristiwa  itu. Tapi paling tidak menurut versi Amak Altuwy, saksi mata yang mengetahui persis  siapa yang  sebenarnya menembak Mallaby menyebut nama H. Abdul Azis.
Menurut Amak, Mallaby ditembak oleh seorang anggota PRI, Abdul Azis disebelah timur Kali Mas dekat halte trem listrik, pada 30 Oktober sore hari.
Penembakan pada jarak satu meter itu terjadi seusai perundingan antara pihak Sekutu  yang diwakili Brigadir Jendral Mallaby dengan para pemimpin Surabaya di Gedung Internatio.
Abdul Azis menembak Mallaby, yang waktu itu berada di mobil, dengan senjata vickers Jepang,” kata Amak, Kamis 9 Nopember 1995 malam, dirumahnya.
Setelah melakukan penembakan, Abdul Azis terjun menyelamatkan diri ke Kali Mas. “Saya juga melihat para pemimpin Surabaya seperti Doel Arnowo, Roeslan Abdulgani, dan T.D. Kundan (penterjemah) masuk kali,” ujarnya.
Amak dan seorang temannya begitu melihat terjadinya penembakan terhadap Mallaby, juga langsung lari. Mereka memilih  menyelamatkan diri melewati jembatan  berlari zig zag menghindari desingan peluru. “Saya dan teman saya tak bisa berenang. Saya sendiri heran kok bisa selamat,” kenang Amak.
Ia kemudian merunut asal mula peristiwa penembakan. Waktu itu, 30 Oktober 1945 siang, terlihat iring-iringan tiga mobil yang mengangkut Brigjend Mallaby dan pemimpin-pemimpin  Surabaya dari kantor Gubernur menuju ke Gedung Internatio untuk melakukan perundingan.
Mobil yang ditumpangi Brigjen Mallaby bersama empat perwira Sekutu, mobil kedua mengangkut para pemimpin Surabaya, Doel Arnowo, Roeslan Abdulgani, Mayjen Sungkono, Muhammad dan TD. Kundan (penterjemah). Mobil ketiga dinaiki para pejuang.
Saat itu lapangan sebelah timur Gedung Internatio dipenuhi para pemuda yang datang beramai-ramai untuk mengikuti jalannya perundingan. Sementara di Gedung Internatio berkumpul para tentara Gurkha. Sesampainya di depan sebuah gedung (sekarang Bank Bumi Daya) di sekitar Jembatan Merah, seorang tentara Sekutu dari dalam mobil melambai lambaikan bendera putih sebagai tanda perdamaian. Sekitar lima menit sesudah itu, dua orang  turun dari mobil berjalan menuju ke Gedung Internatio. Tak lama kemudian seorang diantaranya kembali ke mobil Mallaby.
Setelah itu dengan beriring-iringan, ketiga mobil itu datang ke Gedung Internatio untuk melakukan perundingan. Selama Brigjen Mallaby dan wakil-wakil pemimpin Surabaya berunding, para pemuda menunggu hasilnya di lapangan. Harapan mereka satu, tentara Sekutu ditarik dari kawasan Jembatan Merah ke Pelabuhan Tanjung Perak.
Sekitar pukul 17.00 perundingan usai. Brigjen Mallaby beserta rombongan para pemimpin Surabaya  dan para pejuang keluar gedung. Dengan mobil mereka masing-masing, rombongan lewat jalan sebelah utara lapangan, lalu menyusuri sungai, menyeberangi jembatan lalu belok ke arah utara lewat jalan sebelah timur sungai.
Di jalan ini, dekat halte trem listrik, mobil Mallaby dihentikan para pemuda. Pemuda menuntut pada Mallaby agar tentara Sekutu hari itu juga ditarik dari Jembatan Merah ke Pelabuhan Tanjung Perak. Dengan tergopoh-gopoh Kundan turun dari mobil menuju mobil Mallaby untuk melakukan tugas penterjemahan.
Seorang pengawal Mallaby bersama Muhamad dan seorang lagi, kembali ke Gedung Internatio untuk membicarakan tuntutan pemuda. Namun tak lama kemudian, Kundan terlihat bergegas kembali lagi ke mobil Mallaby. Sekitar 15 menit kemudian lapangan membara. Dari atas Gedung Internatio, pasukan Gurkha melempar granat dan menembakkan senapan.
Tak lama berselang para pejuang mulai mendekati mobil Mallaby di antaranya anggota PRI Surabaya Utara, Abdul Azis. Dari jarak 1 meter, dia menembakkan pistol vickers ke arah Mallaby, lalu ke seorang pengawalnya, hingga tewas.
Menurut Amak, sopir Mallaby akhirnya juga tewas, namun dia tak tahu siapa yang menebak. Sedangkan seorang tentara Sekutu lagi selamat, karena ketika terjadi penembakan dia berada di Gedung Internatio.


Sementara itu wilayah di sekitar Gedung Internatio  tetap membara. Tembak menembak  antara tentara Gurkha dan pejuang tetap berlangsung. Ratusan pejuang jadi korban karena mereka hanya bersenjata karabenj Jepang yang sederhana.
Tentara Gurkha sedikit yang tewas. Selain berlindung di Gedung Internatio yang begitu kokoh dindingnya, mereka juga membawa senjata yang lebih modern. “Gedung Internatio begitu kokoh, peluru yang dimuntahkan dari senapan pejuang terlempar kembali,” ujar Amak. Tembakan tentara Gurkha, begitu membabi buta. Ini terbukti empat perawat wanita yang dikirim dari Rumah Sakit Simpang (CBZ) ikut tertembak tewas. Padahal mereka berpakaian seragam sambil melambai lambaikan bendera palang merah.
“Saya menyaksikan peristiwa itu sampai pukul 23.00. Sesudah itu saya tak tahu yang terjadi, sebab saya ke markas Pemuda Republik Indonesia Ranting Ampel di Jl. Nyamplungan, “ ujarnya.
Tapi esoknya, ketika Amak kembali ke lokasi dimana tembak menembak sudah berhenti masih ditemukan mobil Mallaby yang hangus. Juga mayat Mallaby dan pengawalnya dalam keadaan hangus. Amak mengaku sejak saat itu dia tak pernah berjumpa lagi dengan Abdul Azis.

Menurut Amak, sebelumnya tak kenal begitu dekat dengan Abdul Azis. Dia tahu sosok Abdul Azis  karena bertetangga. “Saya tinggal di Ampel Kejeron, dan Abdul Azis di Ampel Culik (kini Ampel Menara), “ kata dia.
Dia berharap jika peristiwa perjuangan 10 Nopember akan dituliskan, para saksi sejarah dikumpulkan untuk dimintai penjelasan. “Sampai saat ini saya belum pernah dimintai keterangan, “ ujar Amak.




Telah Tiada
Abdul Azis lahir di Bangkalan Madura tahun 1912, sejak tahun 1974 setelah bisnisnya bangkrut akhirnya pindah dari Surabaya dan tinggal di tempat istri keduanya yang dinikahi awal tahun 1963 bernama Sumarni (55) berasal yaitu di Dusun Junggo Desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji Kota Batu. *)Dengan istri keduanya ini dia memiliki 3 orang anak yang masing-masing bernama Akhmad Effendi (32), Amelia Ersita (28) dan Arif Erwinadi (26). Pada tanggal 16 Juli 1989 ia telah meninggal dunia, setelah mengalami stress berat karena pengajuan untuk menjadi veteran atas saran teman-teman seperjuangannya ditolak.
“Waktu itu Abah stress berat, karena saran teman-temannya untuk mengajukan menjadi veteran ditolak oleh pemerintah. Padahal Abah sendiri sebelumnya tak mau mengurusnya, yang akhirnya ditolak,” kata Muhammad Chotib, putra angkat Abdul Azis dengan istri pertama Hj. Siti Mariam, Kamis (9/11) malam, dirumahnya.
Dalam keadaan stress itu, ungkap Chotib, akhirnya semua bukti-bukti yang memperkuat keikutsertaan Abdul Azis dalam perjuangan itu dibakar habis termasuk foto-foto saat dia berjuang. “Sebagai orang Madura, Abah orangnya memang sangat temperamental, sehingga ia bisa melakukan apa saja yang tak terduga, termasuk membakar semua dokumen yang punya nilai amat penting itu. Seingat saya pangkat Abah terakhir, Letnan dua MBAD (Markas Besar Angkatan Darat),” katanya.

Menurut Chotib, Abah waktu itu sengaja tak mengungkapkan kalau dirinya yang melakukan penembakan terhadap Mallaby, karena setelah Abah berhasil menembak Mallaby, ia menceritakannya kepada Cak Doel Arnowo kalau dirinya yang menembak Mallaby. Cak Doel Arnowo berpesan supaya Abah jangan memberitahukan kepada siapa pun tentang peristiwa itu.
Sementara itu, versi lain menyebutkan yang menembak Mallaby adalah pemuda bernama Ook Hendranata. Dalam versi ini diceritakan, R.P. Soepeno Joedowidjojo anggota TKR Sambongan, berlindung di bawah mobil Soengkono. Saat itu ada pemuda mengusik kakinya dan mengatakan ingin membunuh Mallaby. Begitu ia pergi, terdengar tembakan.
Kemudian ia mengatakan Mallaby tewas. Tahun 1977, Soepeno mengenali pemuda itu sebagai karikaturis Ook Hendranata. “Hanya tiga orang yang tahu pembunuh Mallaby, yaitu Ook Hendranata, Soepeno, dan Soengkono.”
Menanggapi versi lain itu, Chotib mengatakan, “Itu sah-sah saja, karena waktu itu peristiwanya begitu cepat dan dalam keadaan darurat perang, jadi tak banyak yang tahu siapa sebenarnya yang menembak Mallaby. Selain kepada Cak Doel Arnowo, Abah juga pernah mengungkapkan peristiwa dia menembak Mallaby kepada tiga orang dari Dewan Harian Daerah Angkatan ’45 sekitar tahun 1970-an di Malang, salah satunya bernama Pak Syifun.”
“Ketika Pak Syifun menyatakan kembali kepada Cak Doel Arnowo waktu itu, Cak Doel Arnowo langsung mengatakan dengan spontan dihadapan Abdul Azis Lha Iki Lak Uwonge,” cerita Chotib menirukan ungkapan Cak Doel Arnowo.
Karena Abdul Azis telah meninggal dunia, ia tak bisa lagi menceritakan siapa sebenarnya yang menembak Mallaby. “Tapi mungkin saksi mata yang masih hidup bisa menceritakannya kembali. Mungkin Pak Abdul Harris Nasution yang pernah bertemu dengan Abah ketika almarhum dalam keadaan stress berat, sebab beliau  menceritakan panjang lebar tentang peristiwa itu,” katanya.
Dr. Roeslan Abdulgani yang dihubungi Jum’at (10/11) pagi mengatakan, tak yakin kalau Abdul Azis  yang menembak Mallaby. “Harus hati-hati menyebut pelaku, karena banyak orang  yang mengaku sebagai penembak Mallaby. Berapa usia pelaku waktu itu terjadi, juga harus jadi pertimbangan,” katanya. (M. Soedarsono, Sukemi)

*) Bagi pembaca kliping koran ini  yang kebetulan ada nama-nama yang  mirip dengan nama-nama teman-teman seperjuangan Abah Abdul Azis bila ingin berhubungan dengan anak-anaknya almarhum Abah Abdul Azis silahkan berhubungan dengan anak pertamanya Sdr. Akhmad Effendi. Yang saat ini tinggal di Perumahan Putri Juanda Sidoarjo Jawa Timur dengan No Hp 0817328302 atau 082140973348. Atau Arif Erwinadi anak ketiganya yang tinggal di Dusun Junggo Desa Tulungrejo Kota Batu 085649986076.


1 komentar: