Selasa, 04 November 2014

Biografi Kaji Ajis Penembak Brigjend AWS Mallaby (3)

ALBUM PERJUANGAN
Profil Pejuang Sejati
Kaji Ajis Endhog
Arek ‘Ampel’ Suroboyo



Pengakuan tanpa emosional yang tulus yang pernah diungkapkan oleh H. Abdul Azis, terjadi pada sekitar tahun 1970/1971 di rumah kontrakannya di Kayutangan (Jln. Jend. Basuki Rahmat saat ini) Kota Malang.

Ketika itu beliau di datangi tiga orang dari Dewan Harian Daerah (DHD) Angkatan 1945 Surabaya untuk mengadakan penelitian  dalam rangka penulisan sejarah perjuangan Arek-Arek Suroboyo, salah satunya bernama Bapak Syifun. Melihat suasana pertemuannya yang penuh canda dan nostalgia, sepertinya Pak Syifun ini memang sahabat akrab beliau yang sudah lama tidak pernah berkomunikasi.

Pak Syifun bertindak sebagai pewawancara, sedangkan lainnya sebagai pencatat. Dengan metode pendekatan dialogis dan saling mengingatkan suatu peristiwa  masa lalu, yang dialami bersama mapun terpisah, dalam suasana yang mirip  kangen-kangenan tersebut membuat proses wawancara berlangsung lancer.

Salah satu hasil wawancaranya adalah tentang siapa penembak Brigjend A.W.S. Mallaby itu, yang kemudian diuji silang kepada Cak Dul Arnowo di kediamannya di Malang (Jln. Dempo ?). Ketika itu Cak Dul Arnowo, dengan dialek khas Suroboyo-an menjawab sambil memberi isyarat telunjuk yang ditujukan kepada H. Abdul Azis, “Lha iki lak uwonge !”  (Ini kan orangnya !).

Mengenai buku memori perjuangan atas hasil wawncara tersebut, hingga saat ini tidak jelas apakah pernah diterbitkan atau memang sengaja di hentikan, dengan pertimbangan klasik demi untuk alasan kerahasiaan dan keamanan Negara dari tudingan Negara-negara yang terlibat pertempuran di Surabaya itu.

Kepada penulis, beliau memang sering mengungkapkan segala peristiwa yang dialami selama masa perjuangan, diantaranya termasuk  peristiwa terbunuhnya Brigadir Jendral A.W.S. Mallaby tersebut.

Ketika penulis menyampaikan  adanya pengakuan dari orang lain sebagaimana dimuat di majalah Tempo, beliau menganggap mereka itu tidak mengerti dampak pengungkapan atas kejadian tersebut bagi Negara. Pada waktu beliau menceritakan  peristiwa tersebut kepada penulis di tahun 1970, beliau punya anggapan bahwa bila pengungkapan kejadian tersebut telah lewat dari 25 tahun, maka pelakunya bebas dari tuntutan. Entah dari mana sumber hukumnya, yang jelas pengakuan beliau memang diungkapkan  setelah 25 tahun, itu pun dalam keadaan emosional.


Sekitar bulan April 1989, H. Abdul Azis berkunjung ke Jakarta menemui cucu keponakannya bernama  H. Achmad Sjukry Suaidy Drs. Ec. Putera dari KH. Mochammad Saleh Suaidy. Ulama sekaligus Perintis Kemerdekaan  Republik Indonesia yang dulu pernah dipercaya sebagai Sekjend Departemen Agama di masa  Presiden Soekarno. Beliau ini sering ditunjuk sebagai Juru Nikah (Penghulu / Modin) Bapak Presiden Soekarno bila menikah lagi setelah pernikahannya dengan Ibu Fatmawati. Kehadiran almarhum sangat dihargai  sebagai orang yang dituakan dalam struktur keluarga di Bangkalan, Madura.


H. Achmad Sjukry Suaidy  sebagai eksekutif muda ia memang terbilang orang super sibuk, maklumlah banyak jabatan yang harus diurusi, termasuk sebagai salah seorang anggota Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang dipimpin  oleh Bapak Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie. Meskipun demikian, sebagai rasa hormat kepada orang yang dituakan, ia pun rela mengorbankan waktunya untuk menemani ‘Eyang Kakung’-nya selama di Jakarta. Ihwal penghargaan pemerintah atas perjuangan yang pernah dialami oleh Eyangnya itu, tak luput dari pertanyaan sang cucu. Almarhum lantas menceritakan segala pengalaman pahitnya, termasuk usaha dari teman-teman Almarhum dalam menguruskan penghargaan bagi dirinya kepada instansi terkait.

Mendengar cerita tersebut, ia berusaha meredam emosi beliau dengan memberikan penjelasan-penjelasan perihal hokum perang dan politik Negara. Tetapi H. Abdul Azis merasa kurang puas mendapat penjelasan dari cucu keponakannya tersebut. Untuk melegakan hati beliau, maka Sdr Sjukry menawarkan agar menemui langsung pakar pejuang Kemerdekaan RI, Jendral Besar TNI/AD (Purn) Abdul Haris Nasution.

Bersama Sdr. Sjukry akhirnya niat berjumpa Jendral Besar (Purn.) A.H. Nasution (Pak Nas) terpenuhi. Perihal pengalaman pribadi di masa perjuangan beliau, termasuk peristiwa tragedy tertembaknya Brigjend A.W.S. Mallaby di Jembatan Merah Surabaya, semuanya diungkapkan secara tuntas. Lantas Pak Nas memberikan wejangan moral dan penjelasan pangjang lebar mengenai hokum perang yang pernah diutarakan cucu keponakannya itu.  Pak Nas juga menyampaikan bahwa teman beliau, sopir dari  Brigjend TNI (Purn.) H. Isa Idris yang juga seorang pejuang tidak pernah mendapatkan pensiun / tidak diakui sebagai veteran pejuang oleh pemerintah RI. Setelah mendengar penjelasan Pak Nas, H Abdul Azis mengaku merasa puas dan jiwanya merasa lebih tenang.

Ibu Sumarni, istri beliau, menambahkan bahwa Pak Nas sangat menyayangkan keputusan H. Abdul Azis yang telah membakar habis semua dokumen-dokumen penting miliknya. Konon Almarhum menyadari  dan sangat menyesali kekeliruan atas tindakan pembakaran dokumen tersebut. Dan penyesalan itu, memang timbul  setelah mendapatkan bimbingan moral dari Pak Nas.

Barangkali dokumentasi yang masih tersisa saat ini masih dapat dilihat dalam film dokumenter produksi PFN (Perusahaan Film Negara), yaitu film rekonstruksi  sejarah pertempuran 10 november 1945 di Surabaya. Dalam film tersebut H. Abdul Azis muda berperan  sebagai seorang pemuda pejuang yang sedang santai bermain catur bersama pemuda lainnya, dan ketika tiba-tiba  mendapat panggilan perang, segera mereka berhamburan menuju medan laga. Biasanya TVRI Stasiun Pusat menayangkan film documenter ini pada hari besar nasional  Hari Pahlawan, setiap tanggal 10 November.

Kondisi ekonomi H. Abdul Azis memang tak pernah berubah, hingga kedua puteranya berhasil lulus SMA di Batu. Beliau memilih tetap bertahan di dusun Junggo desa Tulungrejo Kota Batu bersama istrinya yang dengan setia menemaninya hingga akhir hayatnya pada tanggal 16 Juni 1989. Almarhum H. Abdul Azis meninggal dunia setelah mengalami sedikit gangguan kesehatan.

Perlu diketahui, meskipun usia H. Abdul Azis tergolong kelompok ‘lanjut usia’, namun kondisi beliau tetap tegar dan sama sekali tidak  mengalami pikun. Kecuali keriput dahi, raut wajahnya yang sebenarnya sudah keriput karena tua, menjadi tampak lebih muda  lantaran menggunakan gigi palsu yang dipasang sejak tahun 1960-an. Warna rambutnya terkadang mendua, lantaran polesan semir rambut. Perawakannya masih tetap kekar, tak susut karena usia tua. Bahkan pada usianya yang senja itu, beliau masih sering mondar-mandir ke Surabaya atau ke Jakarta bersilahturrahmi kepada sanak keluarganya.

Beliau dimakamkan di kramat resmi Dusun Junggo Desa Tulungrejo Kota Batu dengan diantar putera dan kerabat keluarga dari pihak istrinya. Upacara pemakaman berlangsung sangat sederhana, tapi khidmat sesuai syari’at Islam. Tak ada pembacaan riwayat hidup dan jasa perjuangan, kecuali bacaan talqin dan tahlil. Tak ada suara tembakan salvo atau iringan genderang dan terompet kebesaran militer, kecuali sesengukan isak tangis keikhlasan istri dan  putera-puteri yang ditinggalkan. Ketika jasadnya diturunkan ke liang lahat, tak ada naungan bendera Sang Saka Merah Putih yang dulu pernah dibanggakan dan dipertahankannya mati-matian, kecuali selembar kain batik usang milik istrinya. Tak diperlukan inspektur upacara dengan tetek bengek  tata protokolernya, cukup dengan komando dan kumandang do’a yang dipimpin seorang moden desa yang sudah renta.

Innalillahi wa inna illaihi roji’un ! Selamat Jalan Sang Pejuang Sejati, di pangkuang ibu pertiwi dan di hadapan Allah  Swt, engkau adalah syuhada yang sangat berjasa bagi bangsa dan Negara. Insya Allah nikmat dan ketenangan yang sejati, senantiasa terlimpah di sisi Allah Yang Maha  Mengetahui Segalanya !  Amin !.



Surabaya, 17 Agustus 1995




Mochammad Chotib      







Biografi Kaji Ajis Penembak Brigjend AWS Mallaby (2)



ALBUM PERJUANGAN

Profil Pejuang Sejati
Kaji Ajis Endhog
Arek ‘Ampel’ Suroboyo



Tak hanya fisik dan nyawa yang dipertaruhkan, tapi beliau dan istrinya juga dengan ikhlas mengorbankan harta bendanya sekaligus untuk revolusi!. Selain pakaian dan bahan makanan, beliau serahkan sejumlah uang ORI (Oeang Repoeblik  Indonesia) kepada para pemimpin pejuang Surabaya untuk keperluan perjuangan, antara lain untuk mendirikan TKR Sambongan.

Sebagai bukti atas penyerahan uang tersebut, selang beberapa tahun kemudian beliau menerima selembar surat dalam bentuk Promes Negara Tahun 1949, Hutang Negara Departemen Keuangan RI bernomor 236422/28/I/KPN, diterbitkan di Jakarta pada Mei 1961. Itulah salah satu sebab beliau cukup dikenal oleh para pemimpin pejuang seperti Cak Doel Arnowo, Soengkono dan tokoh lainnya.

Pada tanggal 12 September 1961, Promes Negara Tahun 1949 tersebut dikuasakan kepada istrinya, Hajjah Siti Mariyam, dan pernah diangsur Negara lewat BRI Cabang Kaliasin. Sayangnya di sekitar tahun 1963-an, angsuran tersebut tak pernah mengalir lagi, lantaran surat promesnya yang asli dihilangkan oleh orang yang dipercaya  untuk mengurusnya.

Setelah kemerdekaan, beliau aktif di perkumpulan Poetera Soerabaya (POESOERA) sebagai anggota biasa.  Beliau juga bergabung dalam organisasi Front Anti Komunis (FAK) pimpinan Hasan Aidid. Memilih mundur sebagai anggota Angkatan Darat dengan pangkat terakhir Letnan Dua Artileri, tetapi beliau tidak tertarik untuk mendaftar pada barisan Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI).

Sebagai pejuang sejati, beliau sangat berang pada para veteran muda yang sehari-hari mengenakan baju hijau lengkap dengan segala atributnya dan bergaya sok pejuang. Menurutnya, veteran itu masih anak-anak pada waktu revolusi bahkan mungkin memang tak pernah ikut berjuang, dalam istilah beliau “veteran palsu!”.

Apalagi di sekitar tahun 1967  atau 1968, orang-orang yang berseragam veteran itu diberi pekerjaan sebagai tukang parker di jalan-jalan utama pusat perbelanjaan  sekitar wilayah Jalan Tunjungan. Di mata beliau pekerjaan itu merupakan  penghargaan yang sangat tidak layak . inikah penghargaan yang diberikan kepada bekas para pejuang?.

Penggunaan istilah ‘pahlawan’ tak luput dari pandangan beliau. Menurutnya kurang pantas, jika istilah tersebut digunakan pada orang-orang yang bukan gugur karena berjuang mempertahankan dan membela bangsa dan Negara. Misalnya, pemberian anugerah pahlawan bagi olahragawan.

Terlepas dari tujuan strategis suatu organisasi, beliau mempunyai pandangan ketidak setujuan  terhadap kerancuan penggunaan pangkat militer, yang dikaitkan dengan kepemimpinan dalam bidang-bidang kegiatan di luar kemiliteran. Misalnya saja, suatu organisasi olah raga atau kesenian yang dipimpin oleh seorang Jendral. Penonjolan atribut Jendralnya yang beliau tak setuju.

 Pada tahun 1961 atau 1962, perkawinan H. Abdul Azis dengan Hj. Siti Mariyam mengalami perceraian. Sejak itu beliau hijrah dari Kampung Ampel ke desa Pesanggrahan  di Kota Batu. Di kota ini, oleh teman seperjuangannya bernama Juber (dulu tinggal di JL. Jambi Surabaya), beliau dijodohkan dengan seorang janda polisi, Ibu Sumarni (usia 23 tahun) alias Ibu Chasanah (foto di masa tuanya), yang kemudian dikaruniai  dua orang Putera bernama Akhmad Effendi dan Arif Erwinadi serta seorang puteri yang bernama Amelia Ersita.
  
Dari kota Batu pindah ke JL. Kasembon Malang dan pindah lagi ke rumah kontrakan di Kayutangan  Gang VIII  ( sekarang Jl. Jend. Basuki Rahmat) di kota yang sama. Kondisi ekonomi keluarga H. Abdul Azis di kota ini semakin menurun saja, maklum lingkup pasar  dagangan batu mulia  yang digelutinya, dan satu-satunya pokok mata pencaharian  beliau tak sebesar di Surabaya.

Baginya kota Malang sepertinya lebih cocok untuk para pensiunan yang ingin menghabiskan sisa tuanya. Karena alasan itulah, beliau lebih suka tinggal di kampong Ampel Surabaya, di rumah mantan istri atau keluarga yang lainnya. Meski telah bercerai, hubungan antara keluarga barunya di Batu  dan keluarga mantan istrinya di Surabaya, tetap berlangsung dengan sangat baik.

Demikian parah kondisi ekonominya, sehingga pada waktu beliau menderita suatu penyakit Hernia yang mengharuskan ia menjalani operasi, beliau tak lagi sanggup membiayai dirinya. Untunglah masih ada teman perjuangan dulu yang kini menjadi pengusaha sukses, Bapak Wirontono (saat itu pemilik Elmi Hotel Surabaya) peduli dengan kondisi beliau dan selanjutnya menutup seluruh pembiayaan operasinya. Istri beliau juga menyebut nama Dr. H. Faruk Bakrie adik dari Bapak Wirontono.

Karena alasan ekonomi, pada tahun 1973 beliau selanjutnya pulang kampung ke dusun Junggo Desa Tulungrejo, delapan kilometer dari kota Batu. Desa asal Ibu Sumarni  dilahirkan. Kondisi rumah tangganya memang cukup memprihatinkan. Ketika itu putera-puterinya masih kecil. Akhmad Effendi putra tertuanya saat itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

(Foto, saat H. Abd Azis sakit hernia dan pulang kampung halaman istrinya)
 
Sementara itu, tiba-tiba datang angin surga dari teman-teman seperjuangan yang ingin membantu beliau untuk mendapatkan  pensiun sebagai veteran pejuang. Berbekal sisa-sisa dokumen yang dimilikinya, beliau menurut saja anjuran teman-temannya. Semua prosedur pengurusan telah dilaluinya, entah di instansi apa, khabarnya di Bandung dan Jakarta. Hasilnya nol besar!.

Kecewa berat rupanya sangat membekas di jiwanya. Betapa tidak ? Dirinya yang pejuang sejati dan berjuang dengan jiwa, raga serta segala harta bendanya, sepertinya dipalingkan begitu saja oleh oknum-oknum bangsa yang tak pernah berjuang tetapi ikut menikmati hasil perjuangan di alam kemerdekaan ini.

Kemarahan ini pernah di ungkapkan langsung kepada seorang perwira muda (lulusan akademis), pada waktu beliau mengikuti wawancara seleksi para veteran perang di Surabaya. Mungkin beliau tersinggungatas pertanyaan-pertanyaan kaku bersifat interogatif yang cukup ruwet  dan mempunyai kesan sok tahu mengenai perjuangan. Menurut beliau, perwira muda tersebut justru tidak pernah ikut berjuang dalam revolusi kemerdekaan.

Pada saat itu memang pemerintah sedang mencurigai adanya manipulasi data veteran, sehingga keuangan Negara dirugikan oleh orang-orang yang tidak berhak mendapat pensiun veteran. “Veteran-veteran palsu !” , persis seperti yang pernah dicurigainya dulu!. Kini predikat itu justru dituduhkan kepada dirinya. Ah, betapa sakitnya hati beliau.

Sementara H. Abdul Azis berusaha melupakan semua itu, pada tahun 1985 muncul Sdr. Amak Altuwy berusaha menemui beliau di Kampung Ampel. Dia memperkenalkan dirinya bahwa dulu pernah menjadi tetangga kampong. Sdr Amak pada waktu perjuangan dulu secara diam-diam sangat mengagumi H. Abdul Azis. Tetapi begitu pembicaraan  masuk ke masalah perjuangan, beliau langsung menolak mengaku sebagai pejuang.

Untuk menebus rasa penasaran dan sekaligus keinginan meluruskan kebenaran sejarah terhadap polemik-polemik mengenai siapa pembunuh Brigadir Jendral A.W.S Mallaby pada saat itu, Sdr. Amak Altuwy mengungkapkan kesaksiannya di harian Surabaya Post (tanggal 5 November 1985), yang berkelanjutan dengan tulisan Sdr. Suparto Brata di surat khabar yang sama  (tanggal 6 November 1985). Menyusul kemudian dengan dimuatnya  hasil wawancara wartawan Buana  Minggu (tanggal 22 Desember 1985).

Penulis menilai ketiga tulisan  yang diungkapakan dalam surat khabar tersebut sangat obyektif. Yang perlu digaris  bawahi dalam tulisan tersebut adalah bahwa H. Abdul Azis, Sang Pejuang Sejati, sangat konsisten terhadap janji kepada para pemimpinnya untuk sepakat tidak membocorkan rahasia Negara mengenai apa yang pernah beliau lakukan berkenaan dengan peristiwa tebunuhnya  Brigjend Mallaby!. Setidaknya dapat dibuktikan hingga 40 tahun lamanya, rahasia ini tersimpan dengan baik.

Adapun bila terjadi pengungkapan oleh beliau di media cetak, hal itu tak lebih di karenakan kebolehan metode investiagsi yang diterapkan wartawan atau pewawancara  dalam mendapatkan suatu berita  dari nara sumbernya !. Ungkapan pengakuan oleh beliau, itupun diperoleh setelah wartawan atau pewawancara berhasil memancing  ledakan emosional dari nara sumbernya.

Jadi, apabila sebelumnya pernah diungkapkan oleh orang lain yang mengaku sebagai pelaku penembak Brigjend. A.W.S. Mallaby, itu adalah upaya   publikasi diri dari orang yang bersangkutan. Itu sah-sah saja. Tetapi tidak demikian halnya dengan H. Abdul Azis, Sang Pejuang Sejati.

Biografi Kaji Ajis Endhog Arek ‘Ampel’ Suroboyo Penembak Brigjend AWS Mallaby (1)



ALBUM PERJUANGAN

Profil Pejuang Sejati
Kaji Ajis Endhog
Arek ‘Ampel’ Suroboyo
Oleh Drs. H. Moch. Chotib
Anak angkat almarhum H. Abdul Azis


Assalamu’alaikum Wr. Wb

Gema perayaan “Indonesia Emas” mendorong penulis untuk membuka-buka kembali kliping usang yang tersimpan 10 tahun lalu. Keinginan itu semakin kuat, ketika surat kabar memberitakan bahwa Ketua Panitia Nasional Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-50, Bapak Emil Salim, berkenan menerima masukan mengenai pelaku-pelaku sejarah perjuangan dan peristiwanya.

Sejalan dengan keinginan itu, Bapak Usman Bahrawi, seorang veteran pejuang Ampell dengan tertatih-tatih lantaran tua dan rabun, mendatangi rumah saya membawa kliping tentang berita kesaksian Bapak Amak Altuwy dalam peristiwa terbunuhnya Brigadir Jendral A.W.S. Mallaby di Jembatan Merah, Surabaya. Hampir setiap pagi dan sore, bapak ini menanyakan hasil rencana saya untuk menulis Haji Abdul Azis, tokoh pelaku dalam lakon pertempuran Jembatan Merah yang menggegerkan dunia internasional itu.

Ditengah-tengah kesibukan selaku karyawan yang padat dengan pekerjaan rutin, malam demi malam saya mulai menulis, akhirnya tepat pada tanggal 17 Agustus 1995, keinginan saya dan juga keinginan bapak pejuang itu terselesaikan juga.

Apa yang saya lakukan, semata-mata bertujuan untuk menyampaikan apa saja yang pernah saya terima dari pelaku sejarah kepada putera-putera dan keluarga saya, baik mengenai semangat juang maupun sekedar mengetahui apa yang pernah dilakukan oleh “datuk dan nenek”-nya dalam memperjuangkan kemerdekaan republik tercinta ini. Itu saja!.

Akhirul kalam, tentu apa yang saya lakukan ini dapat bermanfaat juga bagi orang yang kebetulan membaca tulisan dan kliping saya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Surabaya, 17 Agustus 1995


Mochammad Chotib



Mengenang Arek ‘Ampel’ Suroboyo

KAJI AJIS ENDHOG  (almarhum)
Profil Pejuang Sejati


Sehari-hari berpenampilan parlente, dandanan rambut dan pakaiannya selalu trendi mengikuti zaman. Kendaraan roda duanya jenis Norton, BSA atau BMW, idola setiap pemuda pada zamannya, pokoknya seleranya tinggi. Pergaulannya sangat supel bahkan penuh humor sehingga banyak kawan tetapi pendirian dan sikapnya sangat tegas sebagaimana layaknya karakter orang Madura pada umumnya. Itulah sedikit gambaran sosok  Haji Abdul Azis ketika masih muda, yang lebih akrab dipanggil dengan nama Kaji Ajis Endhog. Maklum, istri beliau  yang dulu, Hajjah Siti Mariyam, waktu itu satu-satunya pribumi pedagang besar telur itik (Jawa = endhog) di Surabaya.

Sampai dengan tahun 1961, Haji Abdul Azis yang lahir tahun 1912 asal Bangkalan itu masih tercatat sebagai penduduk kampong Ampel Menara Surabaya (tempo doeloe : Kampoeng Tjoelik), menempati rumah bertingkat dua dengan konstruksi beton yang dibangun sekitar tahun 1930, yang terbilang cukup mewah menurut ukuran di zamannya. Dari kampong Ampel inilah, beliau bergabung dengan para pemuda setempat untuk memanggul senjata melawan penjajah  Belanda maupun Jepang. Tahun 1951 di masa pasca kemerdekaan, beliau membuka usaha penginapan di depan rumahnya, Losmen Suci, yang konon merupakan cikal bakal pemukim Ampel asal Kalimantan Selatan.

Dalam berjuang, beliau lebih menonjolkan keberanian fisik ketimbang peran intelektual (maaf!). Maka tak heran bila dalam setiap pertempuran yang dihadapi, beliau selalu berada di barisan paling depan.  Ketika pertempuran di daerah Gembong misalnya, beliau sempat terpental beberapa meter dari meriam yang direbutnya, lantaran tak tahu cara menggunakannya, yang berakibat kakinya mengalami luka-luka meski tak terhitung berat.

Ketika tentara Jepang mendarat dari pelabuhan Tanjung Perak dan bergerak ke arah kota, mereka dihadang pemuda Surabaya Utara di Kampemen Straat (kini Jl. KH. Mas Mansyur).
Konon dengan  gagahnya beliau merampas pedang samurai sang pemimpin Jepang yang congkak itu.

Dimasa mudanya beliau bergabung dalam organisasi kepanduan Hizbul Wathan (HW). Dalam perjuangan beliau aktif menjadi anggota PRI Surabaya Utara dan dalam ketentaraan beliau menjadi anggota TKR Sambongan.   Bersambung....