KLIPPING ALBUM PERJUANGAN
Surabaya
Post, Jum’at 10 Nopember 1995
Menguak Misteri Tewasnya Mallaby
Saksi Mata : H. Abdul Azis Penembaknya
SETELAH 50 tahun, misteri
siapa yang membunuh Mallaby kini ada tambahan titik terang meski banyak versi
tentang terjadinya peristiwa itu. Tapi paling
tidak menurut versi Amak Altuwy, saksi mata yang mengetahui persis siapa yang
sebenarnya menembak Mallaby menyebut nama H. Abdul Azis.
Menurut Amak, Mallaby
ditembak oleh seorang anggota PRI, Abdul Azis disebelah timur Kali Mas dekat
halte trem listrik, pada 30 Oktober sore hari.
Penembakan pada jarak satu
meter itu terjadi seusai perundingan antara pihak Sekutu yang diwakili Brigadir Jendral Mallaby dengan
para pemimpin Surabaya di Gedung Internatio.
“Abdul Azis menembak Mallaby, yang
waktu itu berada di mobil, dengan senjata vickers Jepang,” kata Amak,
Kamis 9 Nopember 1995 malam, dirumahnya.
Setelah melakukan
penembakan, Abdul Azis terjun menyelamatkan diri ke Kali Mas. “Saya juga
melihat para pemimpin Surabaya seperti Doel Arnowo, Roeslan Abdulgani, dan T.D.
Kundan (penterjemah) masuk kali,” ujarnya.
Amak dan seorang temannya
begitu melihat terjadinya penembakan terhadap Mallaby, juga langsung lari.
Mereka memilih menyelamatkan diri
melewati jembatan berlari zig zag
menghindari desingan peluru. “Saya dan teman saya tak bisa berenang. Saya
sendiri heran kok bisa selamat,” kenang Amak.
Ia kemudian merunut asal
mula peristiwa penembakan. Waktu itu, 30 Oktober 1945 siang, terlihat
iring-iringan tiga mobil yang mengangkut Brigjend Mallaby dan pemimpin-pemimpin Surabaya dari kantor Gubernur menuju ke
Gedung Internatio untuk melakukan perundingan.
Mobil yang ditumpangi
Brigjen Mallaby bersama empat perwira Sekutu, mobil kedua mengangkut para
pemimpin Surabaya, Doel Arnowo, Roeslan Abdulgani, Mayjen Sungkono, Muhammad
dan TD. Kundan (penterjemah). Mobil ketiga dinaiki para pejuang.
Saat itu lapangan sebelah
timur Gedung Internatio dipenuhi para pemuda yang datang beramai-ramai untuk
mengikuti jalannya perundingan. Sementara di Gedung Internatio berkumpul para
tentara Gurkha. Sesampainya di depan sebuah gedung (sekarang Bank Bumi Daya) di
sekitar Jembatan Merah, seorang tentara Sekutu dari dalam mobil melambai
lambaikan bendera putih sebagai tanda perdamaian. Sekitar lima menit sesudah
itu, dua orang turun dari mobil berjalan
menuju ke Gedung Internatio. Tak lama kemudian seorang diantaranya kembali ke
mobil Mallaby.
Setelah itu dengan
beriring-iringan, ketiga mobil itu datang ke Gedung Internatio untuk melakukan
perundingan. Selama Brigjen Mallaby dan wakil-wakil pemimpin Surabaya
berunding, para pemuda menunggu hasilnya di lapangan. Harapan mereka satu,
tentara Sekutu ditarik dari kawasan Jembatan Merah ke Pelabuhan Tanjung Perak.
Sekitar pukul 17.00
perundingan usai. Brigjen Mallaby beserta rombongan para pemimpin Surabaya dan para pejuang keluar gedung. Dengan mobil
mereka masing-masing, rombongan lewat jalan sebelah utara lapangan, lalu
menyusuri sungai, menyeberangi jembatan lalu belok ke arah utara lewat jalan sebelah
timur sungai.
Di jalan ini, dekat halte
trem listrik, mobil Mallaby dihentikan para pemuda. Pemuda menuntut pada
Mallaby agar tentara Sekutu hari itu juga ditarik dari Jembatan Merah ke
Pelabuhan Tanjung Perak. Dengan tergopoh-gopoh Kundan turun dari mobil menuju
mobil Mallaby untuk melakukan tugas penterjemahan.
Seorang pengawal Mallaby
bersama Muhamad dan seorang lagi, kembali ke Gedung Internatio untuk
membicarakan tuntutan pemuda. Namun tak lama kemudian, Kundan terlihat bergegas
kembali lagi ke mobil Mallaby. Sekitar 15 menit kemudian lapangan membara. Dari
atas Gedung Internatio, pasukan Gurkha melempar granat dan menembakkan senapan.
Tak
lama berselang para pejuang mulai mendekati mobil Mallaby di antaranya anggota
PRI Surabaya Utara, Abdul Azis. Dari jarak 1 meter, dia menembakkan pistol
vickers ke arah Mallaby, lalu ke seorang pengawalnya, hingga tewas.
Menurut
Amak, sopir Mallaby akhirnya juga tewas, namun dia tak tahu siapa yang menebak.
Sedangkan seorang tentara Sekutu lagi selamat, karena ketika terjadi penembakan
dia berada di Gedung Internatio.
Sementara itu wilayah di
sekitar Gedung Internatio tetap membara.
Tembak menembak antara tentara Gurkha
dan pejuang tetap berlangsung. Ratusan pejuang jadi korban karena mereka hanya
bersenjata karabenj Jepang yang sederhana.
Tentara Gurkha sedikit yang
tewas. Selain berlindung di Gedung Internatio yang begitu kokoh dindingnya,
mereka juga membawa senjata yang lebih modern. “Gedung Internatio begitu kokoh,
peluru yang dimuntahkan dari senapan pejuang terlempar kembali,” ujar Amak.
Tembakan tentara Gurkha, begitu membabi buta. Ini terbukti empat perawat wanita
yang dikirim dari Rumah Sakit Simpang (CBZ) ikut tertembak tewas. Padahal
mereka berpakaian seragam sambil melambai lambaikan bendera palang merah.
“Saya menyaksikan peristiwa
itu sampai pukul 23.00. Sesudah itu saya tak tahu yang terjadi, sebab saya ke
markas Pemuda Republik Indonesia Ranting Ampel di Jl. Nyamplungan, “ ujarnya.
Tapi esoknya, ketika Amak
kembali ke lokasi dimana tembak menembak sudah berhenti masih ditemukan mobil Mallaby
yang hangus. Juga mayat Mallaby dan pengawalnya dalam keadaan hangus. Amak
mengaku sejak saat itu dia tak pernah berjumpa lagi dengan Abdul Azis.
Menurut Amak, sebelumnya
tak kenal begitu dekat dengan Abdul Azis. Dia tahu sosok Abdul Azis karena bertetangga. “Saya tinggal di Ampel
Kejeron, dan Abdul Azis di Ampel Culik (kini Ampel Menara), “ kata dia.
Dia berharap jika peristiwa
perjuangan 10 Nopember akan dituliskan, para saksi sejarah dikumpulkan untuk
dimintai penjelasan. “Sampai saat ini saya belum pernah dimintai keterangan, “
ujar Amak.
Telah
Tiada
Abdul Azis lahir di
Bangkalan Madura tahun 1912, sejak tahun 1974 setelah bisnisnya bangkrut
akhirnya pindah dari Surabaya dan tinggal di tempat istri keduanya yang
dinikahi awal tahun 1963 bernama Sumarni (55) berasal yaitu di Dusun
Junggo Desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji Kota Batu. *)Dengan istri keduanya ini
dia memiliki 3 orang anak yang masing-masing bernama Akhmad Effendi (32),
Amelia Ersita (28) dan Arif Erwinadi (26). Pada tanggal 16 Juli 1989 ia
telah meninggal dunia, setelah mengalami stress berat karena pengajuan untuk
menjadi veteran atas saran teman-teman seperjuangannya ditolak.
“Waktu itu Abah stress
berat, karena saran teman-temannya untuk mengajukan menjadi veteran ditolak
oleh pemerintah. Padahal Abah sendiri sebelumnya tak mau mengurusnya, yang
akhirnya ditolak,” kata Muhammad Chotib, putra angkat Abdul Azis dengan istri
pertama Hj. Siti Mariam, Kamis (9/11) malam, dirumahnya.
Dalam keadaan stress itu,
ungkap Chotib, akhirnya semua bukti-bukti yang memperkuat keikutsertaan Abdul
Azis dalam perjuangan itu dibakar habis termasuk foto-foto saat dia berjuang.
“Sebagai orang Madura, Abah orangnya memang sangat temperamental, sehingga ia
bisa melakukan apa saja yang tak terduga, termasuk membakar semua dokumen yang
punya nilai amat penting itu. Seingat saya pangkat Abah terakhir, Letnan dua
MBAD (Markas Besar Angkatan Darat),” katanya.
Menurut Chotib, Abah waktu
itu sengaja tak mengungkapkan kalau dirinya yang melakukan penembakan terhadap
Mallaby, karena setelah Abah berhasil menembak Mallaby, ia menceritakannya
kepada Cak Doel Arnowo kalau dirinya yang menembak Mallaby. Cak Doel Arnowo
berpesan supaya Abah jangan memberitahukan kepada siapa pun tentang peristiwa
itu.
Sementara itu, versi lain
menyebutkan yang menembak Mallaby adalah pemuda bernama Ook Hendranata. Dalam
versi ini diceritakan, R.P. Soepeno Joedowidjojo anggota TKR Sambongan,
berlindung di bawah mobil Soengkono. Saat itu ada pemuda mengusik kakinya dan
mengatakan ingin membunuh Mallaby. Begitu ia pergi, terdengar tembakan.
Kemudian ia mengatakan Mallaby
tewas. Tahun 1977, Soepeno mengenali pemuda itu sebagai karikaturis Ook
Hendranata. “Hanya tiga orang yang tahu pembunuh Mallaby, yaitu Ook Hendranata,
Soepeno, dan Soengkono.”
Menanggapi versi lain itu,
Chotib mengatakan, “Itu sah-sah saja, karena waktu itu peristiwanya begitu
cepat dan dalam keadaan darurat perang, jadi tak banyak yang tahu siapa
sebenarnya yang menembak Mallaby. Selain kepada Cak Doel Arnowo, Abah juga
pernah mengungkapkan peristiwa dia menembak Mallaby kepada tiga orang dari Dewan
Harian Daerah Angkatan ’45 sekitar tahun 1970-an di Malang, salah satunya
bernama Pak Syifun.”
“Ketika Pak Syifun
menyatakan kembali kepada Cak Doel Arnowo waktu itu, Cak Doel Arnowo langsung
mengatakan dengan spontan dihadapan Abdul Azis Lha Iki Lak Uwonge,”
cerita Chotib menirukan ungkapan Cak Doel Arnowo.
Karena Abdul Azis telah
meninggal dunia, ia tak bisa lagi menceritakan siapa sebenarnya yang menembak
Mallaby. “Tapi mungkin saksi mata yang masih hidup bisa menceritakannya
kembali. Mungkin Pak Abdul Harris Nasution yang pernah bertemu dengan Abah
ketika almarhum dalam keadaan stress berat, sebab beliau menceritakan panjang lebar tentang peristiwa
itu,” katanya.
Dr. Roeslan Abdulgani yang
dihubungi Jum’at (10/11) pagi mengatakan, tak yakin kalau Abdul Azis yang menembak Mallaby. “Harus hati-hati
menyebut pelaku, karena banyak orang
yang mengaku sebagai penembak Mallaby. Berapa usia pelaku waktu itu
terjadi, juga harus jadi pertimbangan,” katanya. (M. Soedarsono, Sukemi)
*) Bagi pembaca kliping
koran ini yang kebetulan ada nama-nama
yang mirip dengan nama-nama teman-teman
seperjuangan Abah Abdul Azis bila ingin berhubungan dengan anak-anaknya
almarhum Abah Abdul Azis silahkan berhubungan dengan anak pertamanya Sdr.
Akhmad Effendi. Yang saat ini tinggal di Perumahan Putri Juanda Sidoarjo Jawa
Timur dengan No Hp 0817328302 atau 082140973348. Atau Arif Erwinadi anak
ketiganya yang tinggal di Dusun Junggo Desa Tulungrejo Kota Batu 085649986076.