Sabtu, 02 Agustus 2014

Dengan Pistol Vickers, H Azis Endhoq Menembak Brigjend AWS Mallaby



KISAH – KISAH PERJUANGAN AREK SUROBOYO (2)
RADAR SURABAYA, Sabtu 18 Agustus 2001
Dengan Pistol Vickers, H Azis Endhoq Menembak Brigjend AWS Mallaby
Tak betul jika kematian Brigjen AWS Mallaby  akibat peluru nyasar tak keruan. Amak Altuwy saksi mata saat itu menyebut nama seorang pemuda Madura, Azis Endhoq. Namun Cak Roeslan Abdulgani memang meminta agar si Azis tak bicara pada siapa pun. Inilah kisah heroik untuk menyambut Agustusan kali ini.
SETELAH kemerdekaan bulan Agustus, bulan September dan November, fase pertempuran di Surabaya berubah antara arek Surabaya dengan Sekutu yang bersenjata lebih lengkap dan semangat menang perang Pasifik. Tapi, arek Surabaya tidak kenal takut. Apalagi setelah tahu kalau negara Republik Indonesia sudah diproklamasikan.
Sekutu yang masuk ke Surabaya atas seizin Walikota Radjamin  dan berhasil menguasai gedung-gedung penting  di Surabaya seperti Internatio dan Bataviasche Petroleum Maatschapij (BPM), ternyata membuat warga Surabaya sakit hati. “Kami kesal karena mereka pethenthang-pethentheng tidak tahu diri. Kami ini sudah merdeka, bukan lagi jajahan,” kata Amak Altuwy dengan nada tinggi menggambarkan kekesalannya saat itu.
Akhirnya, pecahlah pertempuran antara arek-arek dengan senjata seadanya melawan Sekutu yang berpanser dan bersenapan mesin selama 3 hari (27,28 dan 29 Oktober 1945). Melihat ini, ternyata pemimpin Indonesia di Jakarta kebakaran jenggot. Maklum saja, mereka tidak ingin citra Indonesia di mata dunia rusak. Karena Sekutu yang bermisi  damai untuk menjaga keamanan wilayah kolonialisme Jepang dan melucuti senjatanya, terganggu oleh tugas-tugas di luar misinya.
Bung Karno, Bung  Hatta dan Mr. Safruddin (Menpen) turun ke Surabaya lewat Morokrembangan untuk berunding menghentikan pertempuran pada 29 Oktober 1945. Ada kejadian unik dimana  kedatangan rombongan sempat sempat diberondong Karabinj arek Suroboyo karena dikira musuh. Untungnya, Bung Karno dan rombongan selamat karena buru-buru mengibarkan bendera merah putih.
Keesokan harinya, pemimpin Indonesia itu berunding dengan pimpinan Sekutu di Surabaya, Brigjen AWS Mallaby, di kantor Gubernuran Aloon aloonstrat di dampingi tokoh-tokoh Surabaya : Kolonel Sungkono, Dul Arnowo, Ruslan Abdul Gani dan Gubernur Suryo. Di luar gedung itu ratusan  arek arek menunggu hasil perundingan itu.

“Seusai perundingan pukul 17.00, rombongan dua oto Bung Karno pulang kembali ke Jakarta. Namun Oto Mallaby yang hendak pulang ke Internatio dicegat pemuda di tengah jalan beberapa meter dari jembatan merah. “Saya masih ingat. Yang ngotot mencegat oto Mallaby adalah Said. Orangnya kecil, kekar,  dan matanya kero (juling),” ungkap Amak.
Amak sendiri yang saat itu memegang karabinj langsung mendekat ke samping kiri oto  sekitar 1 meter dari Mallaby. “Saya sebenarnya bagi tugas sama Mas’ud (almarhum) untuk merampas revolver Sekutu itu kalau nanti ada kesempatan. Sebab, kami ini ingin punya revolver,” ungkap Amak tersenyum mengenang kenekatannya waktu itu.
Namun, beberapa menit kemudian Kundan arek Suroboyo Keturunan India dari Tunjungan mendatangi kerumunan pemuda yang mengitari oto berisi empat tentara Inggris itu. Kundan yang mahir bahasa Inggris rupanya ingin menjembatani komunikasi diantara mereka. Kepada Mallaby, Kundan mengatakan bahwa arek arek ingin tentara Sekutu segera ditarik ke Tanjung Perak.
Kemudian Mallaby memerintahkan wakilnya, Kapten Shaw, ke luar mobil dan ke Internatio ditemani Kundan dan Mohamad. “Tapi, tak disangka beberapa menit kemudian Kundan tampak lari ke luar dari Internatio. Kemudian kami ini dihujani tembakan dan granat dari atas gedung Internatio. Banyak arek-arek yang langsung gugur,” terang Amak.
Tiba-tiba, Amak melihat seorang Pemuda Madura di samping kanannya bernama Abdul Azis atau yang dikenal dengan Azis Endhoq (juragan telur) langsung mencabut pistol vickers-nya buatan Jepang dan menembak mati Mallaby dan sopir oto. Seorang lagi Sekutu yang keluar dari oto dan hendak lari tak luput  dari tembakan maut.
Pertempuran itu berlangsung sampai tengah malam. Arek Surabaya yang kalah senjata bersembunyi dengan menempatkan buldozer di tengah jembatan merah untuk tempat berlindung. Amak ingat sebuah peristiwa sadis dimana serombongan perawat dari RS CBZ (RS Simpang) yang hendak menolong ikut digasak peluru. Keesokan paginya, pertempuran itu baru usai dan tentara Sekutu bergeser ke Tanjung Perak. Arek arek yang masih hidup mengevakuasi puluhan mayat di depan Internatio. “Waktu itulah saya melihat ternyata tubuh Mallaby dan sopirnya sudah gosong mengkeret (mengecil) dan mobilnya hangus terbakar.” (jay)

Surabaya Masih Lengang, Setelah Itu Rebutan Karabinj



KLIPPING ALBUM PERJUANGAN

KISAH – KISAH PERJUANGAN AREK SUROBOYO (1)
KLIPING  RADAR SURABAYA, Jum’at 17 Agustus 2001
Hari Ini, 56 Tahun yang lalu (1)
Surabaya Masih Lengang, Setelah Itu Rebutan Karabinj
Hari ini, 56 tahun yang lalu, saat pekik merdeka susul menyusul mengiringi pembacaan naskah proklamasi oleh Dwitunggal Soekarno-Hatta, Surabaya ternyata masih senyap. Yang ada hanya satu dua letusan bedil, namun pekik di Jakarta itu memompa keberanian Arek-Arek Suroboyo yang akhirnya melucuti tentara Jepang. Inilah pengalaman salah satu saksi hidup peristiwa bersejarah itu Amak Altuwy (74) yang mantan anggota Pemuda Republik Indonesia (PRI) Surabaya.
KALAU sekarang arek Suroboyo dikenal dengan boneknya, ternyata bibitnya sudah muncul sejak dulu. Seperti penuturan Amak pada RADAR, sejak mengetahui Indonesia Merdeka, maka arek-arek Suroboyo langsung bangkit semangatnya untuk melawan penjajah negaranya.
“Memang pada sehari menjelang proklamasi sampai pada beberapa minggu sesudahnya, suasana Surabaya masih tenang-tenang saja. Maklum saja, waktu itu belum banyak yang tahu soal proklamasi di Jakarta. Namun, kira-kira sebulan berikutnya ketika arek-arek sudah tahu semua, kami langsung bergerak melucuti senjata Jepang,” ujar Amak.
Menurut Amak yang asli kelahiran Ampel Kejeron Surabaya, 29 November 1927 itu, sebelum mengetahui adanya proklamasi, rakyat Surabaya baru berani keluar rumah menjelang senja. “Mereka keluar rumah tapi masih takut-takut, karena Jepang masih berkuasa meski sudah agak kacau karena tahu mereka kalah perang dengan Sekutu. Rakyat tidak berani omong politik,” katanya.
Suasana berubah sekitar sebulan kemudian atau pada September 1945 ketika banyak rakyat dan pemimpin Surabaya tahu kalau Indonesia sudah merdeka. Arek-arek banyak yang membentuk organisasi perjuangan. Seperti Pemuda Republik Indonesia (PRI), Angkatan Pemuda Indonesia (API), dan beberapa organisasi lainnya. Amak sendiri bergabung  dengan PRI Utara yang bermarkas di RS Al-Irsyad yang waktu itu adalah rumah tokoh Surabaya Ahmad Baswedan.

Amak masih berumur 18 tahun drop out-an HAS (Holland Arabisch School) kelas 7 kemudian ikut teman-temannya mencari senjata ke tangsi Jepang seperti di Tegalsari, Tambaksari, Darmo, Dinoyo dan Wonokromo. “Waktu itu terus terang saya juga ingin tampil  seperti teman-teman lain, jalan-jalan di kampung pakai sepatu lars dan memanggul senjata. Makanya, saya ikut saja diajak ke tangsi Jepang,” katanya.
Lalu, apa senjata arek-arek merebut senjata Jepang dari tangsinya itu? “Ya....pokoknya kita datang dan kita minta. Kalau mereka melawan kita tembak. Yang nembak, para mantan tentara BKR itu yang punya senjata,” kata Amak yang waktu itu berhasil mendapat sepucuk senjata karabinj Jepang.
Untuk menggambarkan situasi saat itu, kata Amak, pejuang Surabaya yang rata-rata usia muda itu benar-benar tidak takut mati. “Ndak tahu, ya. Waktu itu kami seperti orang gila saja. Rasanya bangga gitu lho, kalau jalan-jalan dilihatin orang sambil menenteng senjata dan bersepatu lars,” katanya. Malah, imbuhnya, saat itu benar-benar dirasakan oleh pemuda-pemuda itu sebagai saat-saat yang paling membahagiakan.
Maklum saja, setelah sekian ratus tahun tidak pernah merasakan merdeka. Kemudian dengan senjata rampasan berhasil menguasai kotanya bahkan mempunyai tawanan serdadu Jepang.
Dengan bekal senjata rampasan itu, arek-arek berhasil merebut semua bangunan penting yang dikuasai Jepang termasuk yang bersejarah adalah direbutnya markas kempetai di Jl. Alun-alun yang kelak kemudian dibangun Tugu Pahlawan. Mau tahu berapa banyak senjata yang bisa direbut dan bagaimana mereka berlatih menggunakan senjata itu?.
Menurut mantan pekerja administrasi di harian Soeara Rakjat dan Berita itu, hampir semua orang  saat itu pegang senjata saking banyaknya senjata Jepang yang berhasil dirampas. “Malah saya tahu ada seorang Madura yang memanggul lebih dari 6 karabinj (senjata laras panjang berbayonet). Orang ini jualan senjata rampasan keliling kampung dengan tukar menukar senjata,” ungkapanya.
Lalu untuk latihan menembak, ingat kakek lima cucu yang giginya tinggal 3 biji itu, dia dan teman-temannya sering nangkring di atas jembatan merah yang dekat dengan markasnya. “Saya sama teman-teman latihan titis-titisan nembak dengan mengincar gedebok pisang yang banyak hanyut di Kalimas,” ujarnya. (jay)

Soal Penembak Brigadir Mallaby



KLIPPING ALBUM PERJUANGAN
Surabaya Post, Rabu 15 Nopember 1995
SURAT PEMBACA
Soal Penembak Brigadir Mallaby
Membaca komentar Cak Roeslan Abdulgani tentang orang-orang  yang mengaku menembak Brigadir Jendral Mallaby (Surabaya Post, 10/11). Saya merasa perlu menyampaikan sedikit penjelasan agar pembaca tak salah persepsi terhadap pribadi almarhum H. Abdul Azis.
Memang benar ada beberapa orang yang pernah mengaku sebagai pelaku penembakan Mallaby, tapi arek “Ampel” Suroboyo yang akrab dipanggil “Kaji Azis Endoq” tak pernah secara terbuka mengklaim dirinya sebagai pelaku penembak Brigadir Mallaby, kecuali kepada keluarganya sendiri.
Beliau sangat konsisten dengan janjinya kepada pemimpinnya, Cak Doel Arnowo untuk tak memberitahukan peristiwa itu kepada siapa pun. Setidaknya telah 40 tahun lamanya rahasia itu dipendamnya dengan baik.
Kalaupun pada tahun 1985, Sdr. Amak Altuwy mengungkapkan lewat Surabaya Post, itu merupakan ungkapan kesaksian Sdr. Amak  sebagai pelaku sejarah dalam pertempuran Jembatan Merah.
H. Abdul Azis konsisten dengan janjinya, jangankan mengaku sebagai pelaku penembak Mallaby, terlibat dalam perjuangan pun tak diakuinya. Sikap ini membuat Sdr. Amak penasaran ingin membuktikan secara langsung atas kebenaran kesaksiannya kepada wartawan Surabaya Post, Sdr. Suparto Brata, waktu itu.
Sdr. Suparto Brata sendiri juga menghadapi sikap yang sama ketika bertemu dengan H. Abdul Azis di Kampung Ampel. Namun ia berhasil membuat H. Abdul Azis terpancing emosinya, dan akhirnya tanpa disadari memasuki sasaran intinya.
Satu-satunya pengungkapan yang tulus terjadi di Malang pada tahun 1970. Pada waktu itu Pak Syifun Dewan Harian Daerah (DHD) ’45 Surabaya melaksanakan pendataan penyusunan buku sejarah perjuangan arek-arek Suroboyo, dengan cara dialogis dan saling mengingatkan peristiwa perjuangan yang pernah dialami bersama maupun terpisah.
Perlu saya tambahkan, teman-teman seperjuangan H. Abdul Azis, antara lain Pak H. Wirontono (saat H. Abdul Azis sakit hernia biaya operasi ditanggung oleh H. Wirontono yang ditangani  oleh Dr. H. Faruk Bakri adiknya, H. Wirontono telah meninggal dunia di Kebayoran Baru Jakarta Selatan pada hari Selasa tanggal 16 Juni 1998), Pak Rakimin, Pak Akhyat “alap-alap”, Pak Soekarsono, dan lainnya yang saya lupa namanya.
Bagaimanapun semasa akhir hidupnya beliau telah berusaha melupakan semua peran dalam upaya merebut kemerdekaan negeri ini dengan segala pengorbanan jiwa, raga, dan hartanya. Itu dibuktikan dengan membakar semua dokumen dan foto penting yang berkaitan dengan perjuangannya.
Konsentrasi perjuangannya sepenuhnya dialihkan untuk keperluan kelangsungan hidup keluarganya. Hingga akhir hayatnya, H. Abdul Azis tak pernah ikut menikmati buah kemerdekaan ini.
Semoga arwah beliau tenang di sisi Allah SWT. Terima kasih.

Drs. H. Muhammadi Chotib
Jl. Ampel Menara 2
Surabaya

Saksi Mata : H. Abdul Azis Penembaknya



KLIPPING ALBUM PERJUANGAN
Surabaya Post, Jum’at 10 Nopember 1995
Menguak Misteri Tewasnya Mallaby
Saksi Mata    :  H. Abdul Azis Penembaknya
SETELAH 50 tahun, misteri siapa yang membunuh Mallaby kini ada tambahan titik terang meski banyak versi tentang terjadinya peristiwa  itu. Tapi paling tidak menurut versi Amak Altuwy, saksi mata yang mengetahui persis  siapa yang  sebenarnya menembak Mallaby menyebut nama H. Abdul Azis.
Menurut Amak, Mallaby ditembak oleh seorang anggota PRI, Abdul Azis disebelah timur Kali Mas dekat halte trem listrik, pada 30 Oktober sore hari.
Penembakan pada jarak satu meter itu terjadi seusai perundingan antara pihak Sekutu  yang diwakili Brigadir Jendral Mallaby dengan para pemimpin Surabaya di Gedung Internatio.
Abdul Azis menembak Mallaby, yang waktu itu berada di mobil, dengan senjata vickers Jepang,” kata Amak, Kamis 9 Nopember 1995 malam, dirumahnya.
Setelah melakukan penembakan, Abdul Azis terjun menyelamatkan diri ke Kali Mas. “Saya juga melihat para pemimpin Surabaya seperti Doel Arnowo, Roeslan Abdulgani, dan T.D. Kundan (penterjemah) masuk kali,” ujarnya.
Amak dan seorang temannya begitu melihat terjadinya penembakan terhadap Mallaby, juga langsung lari. Mereka memilih  menyelamatkan diri melewati jembatan  berlari zig zag menghindari desingan peluru. “Saya dan teman saya tak bisa berenang. Saya sendiri heran kok bisa selamat,” kenang Amak.
Ia kemudian merunut asal mula peristiwa penembakan. Waktu itu, 30 Oktober 1945 siang, terlihat iring-iringan tiga mobil yang mengangkut Brigjend Mallaby dan pemimpin-pemimpin  Surabaya dari kantor Gubernur menuju ke Gedung Internatio untuk melakukan perundingan.
Mobil yang ditumpangi Brigjen Mallaby bersama empat perwira Sekutu, mobil kedua mengangkut para pemimpin Surabaya, Doel Arnowo, Roeslan Abdulgani, Mayjen Sungkono, Muhammad dan TD. Kundan (penterjemah). Mobil ketiga dinaiki para pejuang.
Saat itu lapangan sebelah timur Gedung Internatio dipenuhi para pemuda yang datang beramai-ramai untuk mengikuti jalannya perundingan. Sementara di Gedung Internatio berkumpul para tentara Gurkha. Sesampainya di depan sebuah gedung (sekarang Bank Bumi Daya) di sekitar Jembatan Merah, seorang tentara Sekutu dari dalam mobil melambai lambaikan bendera putih sebagai tanda perdamaian. Sekitar lima menit sesudah itu, dua orang  turun dari mobil berjalan menuju ke Gedung Internatio. Tak lama kemudian seorang diantaranya kembali ke mobil Mallaby.
Setelah itu dengan beriring-iringan, ketiga mobil itu datang ke Gedung Internatio untuk melakukan perundingan. Selama Brigjen Mallaby dan wakil-wakil pemimpin Surabaya berunding, para pemuda menunggu hasilnya di lapangan. Harapan mereka satu, tentara Sekutu ditarik dari kawasan Jembatan Merah ke Pelabuhan Tanjung Perak.
Sekitar pukul 17.00 perundingan usai. Brigjen Mallaby beserta rombongan para pemimpin Surabaya  dan para pejuang keluar gedung. Dengan mobil mereka masing-masing, rombongan lewat jalan sebelah utara lapangan, lalu menyusuri sungai, menyeberangi jembatan lalu belok ke arah utara lewat jalan sebelah timur sungai.
Di jalan ini, dekat halte trem listrik, mobil Mallaby dihentikan para pemuda. Pemuda menuntut pada Mallaby agar tentara Sekutu hari itu juga ditarik dari Jembatan Merah ke Pelabuhan Tanjung Perak. Dengan tergopoh-gopoh Kundan turun dari mobil menuju mobil Mallaby untuk melakukan tugas penterjemahan.
Seorang pengawal Mallaby bersama Muhamad dan seorang lagi, kembali ke Gedung Internatio untuk membicarakan tuntutan pemuda. Namun tak lama kemudian, Kundan terlihat bergegas kembali lagi ke mobil Mallaby. Sekitar 15 menit kemudian lapangan membara. Dari atas Gedung Internatio, pasukan Gurkha melempar granat dan menembakkan senapan.
Tak lama berselang para pejuang mulai mendekati mobil Mallaby di antaranya anggota PRI Surabaya Utara, Abdul Azis. Dari jarak 1 meter, dia menembakkan pistol vickers ke arah Mallaby, lalu ke seorang pengawalnya, hingga tewas.
Menurut Amak, sopir Mallaby akhirnya juga tewas, namun dia tak tahu siapa yang menebak. Sedangkan seorang tentara Sekutu lagi selamat, karena ketika terjadi penembakan dia berada di Gedung Internatio.


Sementara itu wilayah di sekitar Gedung Internatio  tetap membara. Tembak menembak  antara tentara Gurkha dan pejuang tetap berlangsung. Ratusan pejuang jadi korban karena mereka hanya bersenjata karabenj Jepang yang sederhana.
Tentara Gurkha sedikit yang tewas. Selain berlindung di Gedung Internatio yang begitu kokoh dindingnya, mereka juga membawa senjata yang lebih modern. “Gedung Internatio begitu kokoh, peluru yang dimuntahkan dari senapan pejuang terlempar kembali,” ujar Amak. Tembakan tentara Gurkha, begitu membabi buta. Ini terbukti empat perawat wanita yang dikirim dari Rumah Sakit Simpang (CBZ) ikut tertembak tewas. Padahal mereka berpakaian seragam sambil melambai lambaikan bendera palang merah.
“Saya menyaksikan peristiwa itu sampai pukul 23.00. Sesudah itu saya tak tahu yang terjadi, sebab saya ke markas Pemuda Republik Indonesia Ranting Ampel di Jl. Nyamplungan, “ ujarnya.
Tapi esoknya, ketika Amak kembali ke lokasi dimana tembak menembak sudah berhenti masih ditemukan mobil Mallaby yang hangus. Juga mayat Mallaby dan pengawalnya dalam keadaan hangus. Amak mengaku sejak saat itu dia tak pernah berjumpa lagi dengan Abdul Azis.

Menurut Amak, sebelumnya tak kenal begitu dekat dengan Abdul Azis. Dia tahu sosok Abdul Azis  karena bertetangga. “Saya tinggal di Ampel Kejeron, dan Abdul Azis di Ampel Culik (kini Ampel Menara), “ kata dia.
Dia berharap jika peristiwa perjuangan 10 Nopember akan dituliskan, para saksi sejarah dikumpulkan untuk dimintai penjelasan. “Sampai saat ini saya belum pernah dimintai keterangan, “ ujar Amak.




Telah Tiada
Abdul Azis lahir di Bangkalan Madura tahun 1912, sejak tahun 1974 setelah bisnisnya bangkrut akhirnya pindah dari Surabaya dan tinggal di tempat istri keduanya yang dinikahi awal tahun 1963 bernama Sumarni (55) berasal yaitu di Dusun Junggo Desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji Kota Batu. *)Dengan istri keduanya ini dia memiliki 3 orang anak yang masing-masing bernama Akhmad Effendi (32), Amelia Ersita (28) dan Arif Erwinadi (26). Pada tanggal 16 Juli 1989 ia telah meninggal dunia, setelah mengalami stress berat karena pengajuan untuk menjadi veteran atas saran teman-teman seperjuangannya ditolak.
“Waktu itu Abah stress berat, karena saran teman-temannya untuk mengajukan menjadi veteran ditolak oleh pemerintah. Padahal Abah sendiri sebelumnya tak mau mengurusnya, yang akhirnya ditolak,” kata Muhammad Chotib, putra angkat Abdul Azis dengan istri pertama Hj. Siti Mariam, Kamis (9/11) malam, dirumahnya.
Dalam keadaan stress itu, ungkap Chotib, akhirnya semua bukti-bukti yang memperkuat keikutsertaan Abdul Azis dalam perjuangan itu dibakar habis termasuk foto-foto saat dia berjuang. “Sebagai orang Madura, Abah orangnya memang sangat temperamental, sehingga ia bisa melakukan apa saja yang tak terduga, termasuk membakar semua dokumen yang punya nilai amat penting itu. Seingat saya pangkat Abah terakhir, Letnan dua MBAD (Markas Besar Angkatan Darat),” katanya.

Menurut Chotib, Abah waktu itu sengaja tak mengungkapkan kalau dirinya yang melakukan penembakan terhadap Mallaby, karena setelah Abah berhasil menembak Mallaby, ia menceritakannya kepada Cak Doel Arnowo kalau dirinya yang menembak Mallaby. Cak Doel Arnowo berpesan supaya Abah jangan memberitahukan kepada siapa pun tentang peristiwa itu.
Sementara itu, versi lain menyebutkan yang menembak Mallaby adalah pemuda bernama Ook Hendranata. Dalam versi ini diceritakan, R.P. Soepeno Joedowidjojo anggota TKR Sambongan, berlindung di bawah mobil Soengkono. Saat itu ada pemuda mengusik kakinya dan mengatakan ingin membunuh Mallaby. Begitu ia pergi, terdengar tembakan.
Kemudian ia mengatakan Mallaby tewas. Tahun 1977, Soepeno mengenali pemuda itu sebagai karikaturis Ook Hendranata. “Hanya tiga orang yang tahu pembunuh Mallaby, yaitu Ook Hendranata, Soepeno, dan Soengkono.”
Menanggapi versi lain itu, Chotib mengatakan, “Itu sah-sah saja, karena waktu itu peristiwanya begitu cepat dan dalam keadaan darurat perang, jadi tak banyak yang tahu siapa sebenarnya yang menembak Mallaby. Selain kepada Cak Doel Arnowo, Abah juga pernah mengungkapkan peristiwa dia menembak Mallaby kepada tiga orang dari Dewan Harian Daerah Angkatan ’45 sekitar tahun 1970-an di Malang, salah satunya bernama Pak Syifun.”
“Ketika Pak Syifun menyatakan kembali kepada Cak Doel Arnowo waktu itu, Cak Doel Arnowo langsung mengatakan dengan spontan dihadapan Abdul Azis Lha Iki Lak Uwonge,” cerita Chotib menirukan ungkapan Cak Doel Arnowo.
Karena Abdul Azis telah meninggal dunia, ia tak bisa lagi menceritakan siapa sebenarnya yang menembak Mallaby. “Tapi mungkin saksi mata yang masih hidup bisa menceritakannya kembali. Mungkin Pak Abdul Harris Nasution yang pernah bertemu dengan Abah ketika almarhum dalam keadaan stress berat, sebab beliau  menceritakan panjang lebar tentang peristiwa itu,” katanya.
Dr. Roeslan Abdulgani yang dihubungi Jum’at (10/11) pagi mengatakan, tak yakin kalau Abdul Azis  yang menembak Mallaby. “Harus hati-hati menyebut pelaku, karena banyak orang  yang mengaku sebagai penembak Mallaby. Berapa usia pelaku waktu itu terjadi, juga harus jadi pertimbangan,” katanya. (M. Soedarsono, Sukemi)

*) Bagi pembaca kliping koran ini  yang kebetulan ada nama-nama yang  mirip dengan nama-nama teman-teman seperjuangan Abah Abdul Azis bila ingin berhubungan dengan anak-anaknya almarhum Abah Abdul Azis silahkan berhubungan dengan anak pertamanya Sdr. Akhmad Effendi. Yang saat ini tinggal di Perumahan Putri Juanda Sidoarjo Jawa Timur dengan No Hp 0817328302 atau 082140973348. Atau Arif Erwinadi anak ketiganya yang tinggal di Dusun Junggo Desa Tulungrejo Kota Batu 085649986076.