KLIPPING ALBUM PERJUANGAN
KISAH – KISAH PERJUANGAN AREK
SUROBOYO (1)
KLIPING RADAR SURABAYA, Jum’at 17 Agustus 2001
Hari Ini, 56
Tahun yang lalu (1)
Surabaya Masih Lengang,
Setelah Itu Rebutan Karabinj
Hari ini, 56 tahun yang lalu, saat
pekik merdeka susul menyusul mengiringi pembacaan naskah proklamasi oleh
Dwitunggal Soekarno-Hatta, Surabaya ternyata masih senyap. Yang ada hanya satu
dua letusan bedil, namun pekik di Jakarta itu memompa keberanian Arek-Arek
Suroboyo yang akhirnya melucuti tentara Jepang. Inilah pengalaman salah satu
saksi hidup peristiwa bersejarah itu Amak Altuwy (74) yang mantan anggota
Pemuda Republik Indonesia (PRI) Surabaya.
KALAU
sekarang arek Suroboyo dikenal dengan
boneknya, ternyata bibitnya sudah muncul sejak dulu. Seperti penuturan Amak
pada RADAR, sejak mengetahui Indonesia Merdeka, maka arek-arek Suroboyo langsung bangkit semangatnya untuk melawan
penjajah negaranya.
“Memang
pada sehari menjelang proklamasi sampai pada beberapa minggu sesudahnya,
suasana Surabaya masih tenang-tenang saja. Maklum saja, waktu itu belum banyak
yang tahu soal proklamasi di Jakarta. Namun, kira-kira sebulan berikutnya
ketika arek-arek sudah tahu semua, kami langsung bergerak melucuti senjata
Jepang,” ujar Amak.
Menurut
Amak yang asli kelahiran Ampel Kejeron Surabaya, 29 November 1927 itu, sebelum
mengetahui adanya proklamasi, rakyat Surabaya baru berani keluar rumah
menjelang senja. “Mereka keluar rumah tapi masih takut-takut, karena Jepang
masih berkuasa meski sudah agak kacau karena tahu mereka kalah perang dengan
Sekutu. Rakyat tidak berani omong politik,” katanya.
Suasana
berubah sekitar sebulan kemudian atau pada September 1945 ketika banyak rakyat
dan pemimpin Surabaya tahu kalau Indonesia sudah merdeka. Arek-arek banyak yang
membentuk organisasi perjuangan. Seperti Pemuda Republik Indonesia (PRI),
Angkatan Pemuda Indonesia (API), dan beberapa organisasi lainnya. Amak sendiri
bergabung dengan PRI Utara yang
bermarkas di RS Al-Irsyad yang waktu itu adalah rumah tokoh Surabaya Ahmad
Baswedan.
Amak
masih berumur 18 tahun drop out-an HAS (Holland Arabisch School) kelas 7
kemudian ikut teman-temannya mencari senjata ke tangsi Jepang seperti di
Tegalsari, Tambaksari, Darmo, Dinoyo dan Wonokromo. “Waktu itu terus terang
saya juga ingin tampil seperti
teman-teman lain, jalan-jalan di kampung pakai sepatu lars dan memanggul
senjata. Makanya, saya ikut saja diajak ke tangsi Jepang,” katanya.
Lalu,
apa senjata arek-arek merebut senjata Jepang dari tangsinya itu?
“Ya....pokoknya kita datang dan kita minta. Kalau mereka melawan kita tembak.
Yang nembak, para mantan tentara BKR itu yang punya senjata,” kata Amak yang
waktu itu berhasil mendapat sepucuk senjata karabinj Jepang.
Untuk
menggambarkan situasi saat itu, kata Amak, pejuang Surabaya yang rata-rata usia
muda itu benar-benar tidak takut mati. “Ndak tahu, ya. Waktu itu kami seperti
orang gila saja. Rasanya bangga gitu lho, kalau jalan-jalan dilihatin orang
sambil menenteng senjata dan bersepatu lars,” katanya. Malah, imbuhnya, saat
itu benar-benar dirasakan oleh pemuda-pemuda itu sebagai saat-saat yang paling
membahagiakan.
Maklum
saja, setelah sekian ratus tahun tidak pernah merasakan merdeka. Kemudian
dengan senjata rampasan berhasil menguasai kotanya bahkan mempunyai tawanan
serdadu Jepang.
Dengan
bekal senjata rampasan itu, arek-arek berhasil merebut semua bangunan penting
yang dikuasai Jepang termasuk yang bersejarah adalah direbutnya markas kempetai
di Jl. Alun-alun yang kelak kemudian dibangun Tugu Pahlawan. Mau tahu berapa
banyak senjata yang bisa direbut dan bagaimana mereka berlatih menggunakan
senjata itu?.
Menurut
mantan pekerja administrasi di harian Soeara Rakjat dan Berita itu, hampir
semua orang saat itu pegang senjata
saking banyaknya senjata Jepang yang berhasil dirampas. “Malah saya tahu ada
seorang Madura yang memanggul lebih dari 6 karabinj (senjata laras panjang
berbayonet). Orang ini jualan senjata rampasan keliling kampung dengan tukar
menukar senjata,” ungkapanya.
Lalu
untuk latihan menembak, ingat kakek lima cucu yang giginya tinggal 3 biji itu,
dia dan teman-temannya sering nangkring di atas jembatan merah yang dekat
dengan markasnya. “Saya sama teman-teman latihan titis-titisan nembak dengan
mengincar gedebok pisang yang banyak hanyut di Kalimas,” ujarnya. (jay)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar