Sabtu, 02 Agustus 2014

Surabaya Masih Lengang, Setelah Itu Rebutan Karabinj



KLIPPING ALBUM PERJUANGAN

KISAH – KISAH PERJUANGAN AREK SUROBOYO (1)
KLIPING  RADAR SURABAYA, Jum’at 17 Agustus 2001
Hari Ini, 56 Tahun yang lalu (1)
Surabaya Masih Lengang, Setelah Itu Rebutan Karabinj
Hari ini, 56 tahun yang lalu, saat pekik merdeka susul menyusul mengiringi pembacaan naskah proklamasi oleh Dwitunggal Soekarno-Hatta, Surabaya ternyata masih senyap. Yang ada hanya satu dua letusan bedil, namun pekik di Jakarta itu memompa keberanian Arek-Arek Suroboyo yang akhirnya melucuti tentara Jepang. Inilah pengalaman salah satu saksi hidup peristiwa bersejarah itu Amak Altuwy (74) yang mantan anggota Pemuda Republik Indonesia (PRI) Surabaya.
KALAU sekarang arek Suroboyo dikenal dengan boneknya, ternyata bibitnya sudah muncul sejak dulu. Seperti penuturan Amak pada RADAR, sejak mengetahui Indonesia Merdeka, maka arek-arek Suroboyo langsung bangkit semangatnya untuk melawan penjajah negaranya.
“Memang pada sehari menjelang proklamasi sampai pada beberapa minggu sesudahnya, suasana Surabaya masih tenang-tenang saja. Maklum saja, waktu itu belum banyak yang tahu soal proklamasi di Jakarta. Namun, kira-kira sebulan berikutnya ketika arek-arek sudah tahu semua, kami langsung bergerak melucuti senjata Jepang,” ujar Amak.
Menurut Amak yang asli kelahiran Ampel Kejeron Surabaya, 29 November 1927 itu, sebelum mengetahui adanya proklamasi, rakyat Surabaya baru berani keluar rumah menjelang senja. “Mereka keluar rumah tapi masih takut-takut, karena Jepang masih berkuasa meski sudah agak kacau karena tahu mereka kalah perang dengan Sekutu. Rakyat tidak berani omong politik,” katanya.
Suasana berubah sekitar sebulan kemudian atau pada September 1945 ketika banyak rakyat dan pemimpin Surabaya tahu kalau Indonesia sudah merdeka. Arek-arek banyak yang membentuk organisasi perjuangan. Seperti Pemuda Republik Indonesia (PRI), Angkatan Pemuda Indonesia (API), dan beberapa organisasi lainnya. Amak sendiri bergabung  dengan PRI Utara yang bermarkas di RS Al-Irsyad yang waktu itu adalah rumah tokoh Surabaya Ahmad Baswedan.

Amak masih berumur 18 tahun drop out-an HAS (Holland Arabisch School) kelas 7 kemudian ikut teman-temannya mencari senjata ke tangsi Jepang seperti di Tegalsari, Tambaksari, Darmo, Dinoyo dan Wonokromo. “Waktu itu terus terang saya juga ingin tampil  seperti teman-teman lain, jalan-jalan di kampung pakai sepatu lars dan memanggul senjata. Makanya, saya ikut saja diajak ke tangsi Jepang,” katanya.
Lalu, apa senjata arek-arek merebut senjata Jepang dari tangsinya itu? “Ya....pokoknya kita datang dan kita minta. Kalau mereka melawan kita tembak. Yang nembak, para mantan tentara BKR itu yang punya senjata,” kata Amak yang waktu itu berhasil mendapat sepucuk senjata karabinj Jepang.
Untuk menggambarkan situasi saat itu, kata Amak, pejuang Surabaya yang rata-rata usia muda itu benar-benar tidak takut mati. “Ndak tahu, ya. Waktu itu kami seperti orang gila saja. Rasanya bangga gitu lho, kalau jalan-jalan dilihatin orang sambil menenteng senjata dan bersepatu lars,” katanya. Malah, imbuhnya, saat itu benar-benar dirasakan oleh pemuda-pemuda itu sebagai saat-saat yang paling membahagiakan.
Maklum saja, setelah sekian ratus tahun tidak pernah merasakan merdeka. Kemudian dengan senjata rampasan berhasil menguasai kotanya bahkan mempunyai tawanan serdadu Jepang.
Dengan bekal senjata rampasan itu, arek-arek berhasil merebut semua bangunan penting yang dikuasai Jepang termasuk yang bersejarah adalah direbutnya markas kempetai di Jl. Alun-alun yang kelak kemudian dibangun Tugu Pahlawan. Mau tahu berapa banyak senjata yang bisa direbut dan bagaimana mereka berlatih menggunakan senjata itu?.
Menurut mantan pekerja administrasi di harian Soeara Rakjat dan Berita itu, hampir semua orang  saat itu pegang senjata saking banyaknya senjata Jepang yang berhasil dirampas. “Malah saya tahu ada seorang Madura yang memanggul lebih dari 6 karabinj (senjata laras panjang berbayonet). Orang ini jualan senjata rampasan keliling kampung dengan tukar menukar senjata,” ungkapanya.
Lalu untuk latihan menembak, ingat kakek lima cucu yang giginya tinggal 3 biji itu, dia dan teman-temannya sering nangkring di atas jembatan merah yang dekat dengan markasnya. “Saya sama teman-teman latihan titis-titisan nembak dengan mengincar gedebok pisang yang banyak hanyut di Kalimas,” ujarnya. (jay)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar